Mohon tunggu...
Henry Multatuli
Henry Multatuli Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya adalah seorang yang sedang mencari makna yanga ada di dalam bab-bab buku kehidupanku. lembarannya unik dan harus kuakui sedang kuselami sebuah arti di setiap paragrafnya. Walaupun akhirnya kutemukan diriku hanyalah pujangga yang tak bermakna. Aku bukanlah Sartre yang bermain dalam absurditas ataupun Nietzsche sang penggila metafora dan aforisme. Mungkin aku berada dalam tahap estetikanya Kierkegaard...atau mungkin sedang menikmati asyiknya bersuara lantang dalam tahapan eksistensi... sekarang sedang mengambil peruntungan di Damaskus, Suriah. Belajar bahasa Arab.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semakin Ngepop...

10 September 2010   00:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:19 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi baby-boomer atau generasi pasca-perang dunia kedua sempat diguncangkan dengan rintisan gerakan seni bernama pop-art. Gerakan seni baru yang menemui titik loncatnya dari Richard Hamilton hingga namanya semakin 'ngepop' di bawah nama Andy Warhol. Sungguh merupakan gerakan revolusioner yang mengantarkan seni modern ke dalam mass-produced oriented ketimbang seni sebelumnya yang berpijak pada state of the art. dalam seni Pop-art, sekat-sekat idealisme seni sebelumnya dikikis habis dan mulai memperkenalkan metode printing dan manipulasi visual serta diproduksi secara massal sebagaimana mengusung kata 'populer. Bagi yang penasaran, anda tak perlu meminjam mesin waktu. Cukup melihat katalog iklan-iklan di tahun 50'an di AS anda sudah paham apa yang saya maksud.

Harap mafhum tragedi pasca-perang selalu membawa goncangan multidimensi. Tidak luput juga kultur yang serba 'pop', dan maraknya filsafat ngepop seperti 'eksistensialisme' dan postmodernisme seakan merupakan sebuah keniscayaan. Di masa itu, nilai-nilai murni (virtue) dan etika akan dibubuhkan oleh tanda tanya. Masih adakah yang namanya moral? Apakah ini yang namanya dunia manusia? sekengkal pertanyaan sederhana namun filosofis.

Panggung politik, ekonomi dan hiburan kini sudah disesaki oleh pelakon lihai yang berjiwa ngepop. Atas nama kultur ngepop, kita bagai seorang perawan tingting yang siap melepas mahkota 'terakhir'-nya dalam terkaman buas lelaki hidung belang. Kita menjual segalanya demi nama pop. Kita adalah Faustus-Faustus baru. Para politisi semakin terpesona oleh daya tarik Machiavellianisme dan sudah melupakan semangat Stoik yang diperagakan oleh pejuang-pejuang kita. Lihatlah Pantheon yang semakin lapuk, bersama dengan lapuknya moral universal Kant yang menjadi junjungan moral barat abad 19. Kita tergerus dalam limbah beracun bernama 'kultur Pop' yang bersumber dari pabrik-pabrik industri barat sarat kapitalisme.

Infotainment, hiburan, konsumerisme, hanyalah cermin semu dari apa yang dimaksud oleh kaum utilitarian dengan "Pursuit of the Happiness'. Kebahagian yang dianalogikan dengan dengan surplus atau greater good.

Sejarah selalu mencatat, keadaan seperti ini memuncak dengan ide-ide eschatology atau ide tentang kedatangan sang ratu adil atau sang messiah yang akan datang di tengah kekacauan dan membawa kembali obor kebenaran yang selama ini diselimuti oleh bungkus keraguan. Bak Pahlawan yang dinantikan, dia datang menghijaukan kembali 'lahan-lahan' yang tercemar oleh 'racun-racun' yang disebar oleh antikristus-antikristus modern. Cukup dengan kata "Tenang, dia akan datang," seakan membuat hati kita sedikit terobati sambil berpangku tangan. Apakah si-'dia' datang dengan gaya ngepop juga, sungguh tak ada yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun