Mohon tunggu...
Warna-warna Kata
Warna-warna Kata Mohon Tunggu... -

Bebas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Entah Judulya Apa

13 Maret 2010   10:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:27 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock





Diufuk Barat sang fajar telah mulai letih dan bersiap tuk terganti. Mesjid-mesjid tlah berkumandang pertanda Magrib tlah Tiba. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari, bergegas merapikan kemeja mereka menuju Rumah-rumah Tuhan yang sedari tadi memanggil. Namun,ada yang aneh sesosok wanita tua yang sedari tadi hanya berdiam diri dan tak melakukan apapun itu memberi sejuta tanya buatku. Kuhampiri wanita tua itu dan berkata "nek, sedang apa? bukannya hari sudah petang ?".Namun dia tetap diam membisu dan tak memberi respon sedikpun.Lalu kucoba untuk merabah pundak sang wanita tua itu,dan tanpa aku sadari itu hanyalah sebatang pohon kayu y tlah Rapu, Aku ternyata masih sj rapuh menghadapi kenyataan ini sehingga membuat khayalku berlarian sesuka hatinya dan tak memberikan sebuah kejelasan yang nyata. Ada apa denganku ??? ada apa ??? Tanyaku kepada langit-langit senja itu. Namun apa daya hanya Hembusan angin yang dapat aku dapat dan lamunan sang langit tua itu.Kupercap langkahku menuju rumah tuaku,sesampainya disana aku hanya dapat terpaku melihat susana padang luas terpampang dihadapku. Ah,,,,,, kuteriakkan Nada lantang, aku baru saja terjebak dalam khayalku lg, "aku ini hanya lelaki Jalan,tak punya tempat bertengger layaknya orang2 itu". Oh,,,, Tuhan, maafkanlah aku yang terlalu naif dengan keadaanku saat ini, yang seakan ingin lari daari hamparan tanah luasmu ini sebab aku tak mampu membendung bebanku ini. Engkau tahu Tuhan!!! Kemana lg aku harus bepergian ? sedang tak ada lg tempat y indah buatku. Tuhan,,, izinkan aku meribek Jasadmu ini, Izinkan aku mempoles RuhMu inidengan Cat keabadian Mu, Tuhan,,,, andai aku diizinkan untuk memilih, aku lebih baik memilih tuk terpilih sebagai budak sang Dedaunan sang Jati yang tiap musimmnya terus berproses tanpa kenal rasa Jenuh.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun