[caption id="attachment_311542" align="aligncenter" width="300" caption="Gedung Perdana Mentri Malaysia"][/caption] Di tahun 2013 ini, aku berkesempatan mengunjungi Putrajaya, kota “cerdas” di negara tetangga. Sempat dibuat takjub dan terkesima (apa bedanya ya?) saat mengelilingi kota termodern di Asia ini. Kawasan yang tidak hanya merupakan kota administratif pemerintahan, namun juga merupakan ikon dan primadona industri pariwisata. Kota ini merupakan visi cerdas dari Dr. Mahathir bin Mohammad, Perdana Menteri Malaysia yang keempat. Beliau menganggap Kuala Lumpur, sebagai ibukota negara tidak akan sanggup memikul beban berat pembangunan. Oleh karena itu disadari perlu menciptakan dua buah kota baru, Putrajaya dan Cyberjaya. Putrajaya adalah pusat administrasi pemerintahan yang baru. Sedangkan Cyberjaya adalah kota yang digadang menjadi Silicon Valley – tempat di mana menjadi pusat-pusat keunggulan (center of ecellent), seperti universitas dan industri teknologi informasi. Kedua kota kembar itu masuk dalam konsep besar: Multimedia Super Coridor (MSC). Pembangunan dimulai pada Agustus 1995. Selama ini, kita ketahui kota-kota besar di dunia, terus saja dibangun dan dikembangkan tanpa henti, kadang hingga menembus batas. Kota sekaligus pusat ekonomi, pemerintahan dan pemukiman penduduk. Akhirnya sebagian tumbuh sebagai kota metropolis yang penuh sesak, diliputi kemacetan dan persoalan ekologis. Kota Jakarta contoh konkretnya. Carut-marut kronis di ibukota republik ini sulit sekali dibenahi. Oleh karena itu, visi cerdas Dr. Mahathir patut diacungi jempol. Padahal saat itu krisis ekonomi tengah berlangsung sehingga proyek ini banyak menuai kritik. Namun Pemerintah Federal Malaysia tetap bersikeras. Untuk membangun kedua kota termodern tersebut dibutuhkan anggaran 30 miliar ringgit (Rp 90 triliun). Namun langkah berani ini berbuah manis. Kota yang terletak 25 kilometer luar Kuala Lumpur ini memperlihatkan kombinasi sempurna antara perencanaan matang, arsitektur, infrastruktur telekomunikasi yang canggih, juga berwawasan lingkungan. Bersama Pak Rizal, dosen Teknik Mesin Unsyiah dan keluarga, aku dibawa berkeliling menikmati kota “cerdas” Putrajaya. Memasuki inti kota, kami disambut deretan bangunan pemerintahan berlanggam arsitektur beragam dan menawan. Boulevard yang kami lewati adalah “Persiaran Perdana” di Presint 4. Bangunan berbagai kementrian dan departemen pemerintahan Malaysia berjajar rapi di kiri kanan jalan. Nuansanya modern, saya merasa seperti berada di Jepang. Walaupun modern, Putrajaya dibangun dengan desain ramah lingkungan. Di sekeliling kota ditemui taman-taman botani. Hampir setiap gedung punya taman botani masing-masing. Oleh karena itu, Putrajaya kerap dijuluki “kota taman”. Sebanyak 37 persen luas areal di sini merupakan kawasan hijau. Potensi polusi pun ditekan ke titik terendah. Di ujung jalan berdiri megah sebuah gedung berasitektur khas campuran Melayu, Eropa dan Islam. Aku mengira itu adalah masjid, namun ternyata salah. “Itu Gedung Perdana Menteri Malaysia,” jelas Bu Endang. Aku melongo. Soalnya kubahnya yang berwarna hijau persis seperti kubah masjid gitu, oalah. Gedung ini mulai difungsikan pada tahun 1999. Pak Rizal menghentikan mobil dan memarkirnya. Kesempatan yang baik itu kugunakan untuk berfoto ria bersama Bu Endang dan anak-anaknya. Saudaranya yang baru datang dari Meulaboh juga tak ketinggalan, ikut kufoto juga. Suasana sore hari begitu menyegarkan. Rasa-rasanya seperti di Monas, Jakarta. Jadi teringat masa kecilku, hiks. [caption id="attachment_311541" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan utama (boulevard) di Putrajaya"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H