Mohon tunggu...
Muliana Ulhy
Muliana Ulhy Mohon Tunggu... lainnya -

senang menulis apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Uang Panaik: Mahar atau Biaya Operasional? Nilai Sakral atau Status Sosial?

23 Februari 2013   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:50 1886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“eh, mau ki menikah anaknya ibu anu!” kata seorang ibu

“sama siapa? kerja dimana? berapa mi uang panaiknya?” tanya seorang ibu yang lain, bertubi-tubi

“kalau ndak salah 30 juta!” jawab ibu itu

Begitu kutipan pembicaraan yang sering terdengar diantara warga apabila ada seorang gadis yang akan melangsungkan pernikahan. Anehnya, yang paling sering menjadi pokok pembicaraan adalah uang panaik (mahar, pendapat sebagian orang), khususnya bagi kita suku bugis/makassar .

Ntah bagaimana asal muasalnya, tradisi uang panaik yang semakin hari semakin mencekik leher, khususnya bagi kaum Adam yang akan melamar seorang gadis bugis/makassar. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, kisaran antara 20 juta, 30 juta, 50 juta bahkan ratusan juta. Nilai yang terbilang lumayan (lumayan memusingkan!). Belum lagi ditambah embel-embel sebidang tanah, seperangkat perhiasan emas dan seserahan lainnya.

Besarnya jumlah uang panaik pada umumnya memiliki makna tersendiri, pada umumnya menandakan tingginya status sosial gadis yang dilamar. Status sosial seseorang bisa dilihat dari segi keturunan (keturunan bangsawan, misalnya Andi’), tingkat pendidikan (sarjana), pekerjaan (PNS,dll), serta gelar Hajjah,dll. Faktor-faktor tersebut biasanya menjadi “biang keladi” besarnya jumlah uang panaik seorang gadis bugis/makassar.

Hal ini tentunya menjadi momok menakutkan bagi sebagian kaum Adam yang akan meminang gadis pujaannya. Sehingga, sering terjadi kisah memilukan “cintaku terhalang uang panaik!”. Hal ini sering menjadi buah simalakama bagi seorang laki-laki yang akan mempertahankan gadis pujaannya. Sehingga, niatan untuk melaksanakan sunnah Rasul akhirnya kandas karena ketidakmampuan memenuhi permintaan uang panaik keluarga pihak perempuan. Bagi sebagian kaum Adam yang pantang menyerah, menjual warisan (kalau ada) merupakan satu-satunya jalan keluar. Ada juga yang sampai harus ngutang dulu! Astaghfirullah.

Melihat fenomena tersebut, setiap kita bisa saja memiliki pendapat yang berbeda. Mungkin sebaiknya kita mereview kembali, apa sih Mahar itu? Jangan sampai nilai sakral sebuah pernikahan terhambat hanya karena polesan materi yang sifatnya duniawi dan belum tentu membawa keberkahan, malah sebaliknya membawa bencana (bagi laki-laki).

Mahar adalah pemberian pria kepada wanita tanpa pengganti. Demikianlah yang diungkapkan oleh Al-Qur’an al-Karim dalam firman-Nya, “Dan berikanlah mahar kepada wanita-yang kamu nikahi-sebagai pemberian yang penuh kerelaan. ” (QS. an-Nisa’: 4) Nihlah (kerelaan) adalah pemberian tanpa ganti. Nas Al-Qur’an ini membatasi makna mahar dan menegaskan bahwa ia bukan sekadar harta yang dibayar sebagai ganti dari apa yang diberikan wanita dari dirinya, namun merupakan hadiah yang diberikan pria kepada wanita sebagai konsekuensi wajib dari suatu akad nikah, yang boleh jadi untuk menarik kecintaan sang kekasih (wanita) , dan boleh jadi karena pria-dalam tradisi masyarakat umum-adalah yang banyak mengambil manfaat dari perkawinan, sebagai ganti dari apa yang diberikan wanita dari darinya kepada si pria.

Mahar dalam istilah syariat adalah apa yang diberikan pria kepada wanita dalam akad perkawinan, baik berupa harta atau yang lainnya tanpa ganti apa pun, dan dia harus diberikan kepada wanita atas dasar kerelaan antara pria dan wanita. Jadi, mahar ditentukan oleh pihak perempuan tanpa campur tangan keluarga. Jadi, jelas bahwa harta atau apapun yang diberikan itu atas dasar kerelaan, ikhlas. Bukan beban!

Bisa jadi sebagian besar masyarakat kita menyalah artikan makna uang panaik sebagai mahar. Uang panaik sebenarnya kata lain dari biaya operasional. Biaya yang dikeluarkan untuk pesta pernikahan/walimah. Hal ini manusiawi, karena dalam pelaksanaannya memerlukan biaya. Pesta/walimah dalam agama pun dianjurkan. Hanya saja, nilai yang harus dikeluarkan (berlebihan) jangan sampai menjadikan niatan baik seseorang menjadi terhambat bahkan gagal. Bagi sebagian orang, pesta yang mewah merupakan prestise tersendiri, hal ini bisa jadi menimbulkan riya’. Akhirnya, nilai sakral pernikahan yang sejatinya adalah ibadah harus ternodai oleh hal-hal yang tidak membawa keberkahan sama sekali.

Tulisan ini sifatnya netral, untuk sekedar sharing mudah-mudahan bisa meluruskan persepsi sebagian masyarakat kita yang mulai bergeser, jangan sampai nilai uang panaik dianggap mewakili nilai atau kasarnya “harga” perempuan yang dilamar. Justru hal itu, sangat merendahkan. Karena perempuan sangat berharga, sampai-sampai dunia dan isinya sekalipun tidak bisa mewakili penghargaan terhadap perempuan! Apakah besarnya jumlah uang panaik bisa dijadikan ukuran kemuliaan seorang perempuan?

Setiap kita bisa berpendapat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun