“Apa tidak ada ide yang lain?!” bentak pakDedi Soetardi yang sudah naik pitam menghadapiku, mahasiswi fakultas ekonomi semester banyak, terancam DO, yang sudah dibimbingnya tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda menuju ke jalan yang benar. Nah, lho?. Pak Dedi Soetardi terkenal dosen paling galak dikalangan mahasiswa. Kumisnya yang tebal menambah kesan galak diwajahnya.
“Hey, kamu dengartidak?” bentaknya lagi
Aku tersentak, terbangun dari lamunanku.
“Eh...sa saya pak?” jawabku gugup, sambil menunjuk diriku sendiri
“Kamu pikir ada orang lain di ruangan ini selain kamu?” ujarnya dengan wajah memerah
“Pokoknya saya tidak mau lagi ada proposal gampangan seperti ini! Idenya tidak mengikuti perkembangan informasi dan teknologi. Mahasiswa angkatan ‘45 juga sudah membahas masalah ini. Apa kata dunia? Zaman informasi begini, ide mahasiswa tidak berkembang juga! Sekarang kamu pikirkan lagi ide cemerlang untuk skripsimu. Waktumu tinggal beberapa bulan lagi, atau kamu lebih memilih keluar secara tidak hormat dari kampus ini alias DO?” ceramah pak dedi panjang lebar dengan nada yang semakin meninggi .
“Ng...nggak pak. Saya akan berusaha pak!” ucapku gemetar. Aku tidak berani menatap wajah pak Dedi, hari ini dia benar-benar marah besar. Kata-katanya sangat pedas, tajam menusuk hatiku, menembus lambungku sampai maagku kambuh lagi, rasanya mau muntah! Air mataku sudah mengambang dipelupuk mata, hampir pecah, tapi kutahan. Aku tidak mungkin menangis di depan pak Dedi.
Suasana hening. Hanya suara nafas pak Dedi yang naik turun menahan amarah. Aku belum berani menatapnya.
“Sa...saya permisi pak!” ucapku memecah kesunyian, memohon diri sebelum diusir.
“Ya! Minggu depan proposal itu harus selesai!” katanya mulai ramah
“E...iya pak!” jawabku berusaha meyakinkan. Aku melangkah meninggalkan kursi panas itu, tak lupa kuucap salam sebelum keluar. Dengan langkah gontai kutinggalkan ruangan itu menuju lantai dasar. Aku terus berpikir tentang ide apa yang akan kubahas agar proposalku segera di acc. Aku tidak mungkin membuang waktuku hanya untuk memikirkan ide itu. Kulangkahkan kaki menuju perpustakaan fakultas. Mumpung masih buka, aku langsung ke ruang skripsi mencari ide yang mungkin terselip di salah satu sudut lemari yang penuh skripsi. Hari semakin gelap, aku masih asyik dengan bacaanku.
“ Mbak, dah mau tutup!” ucap petugas perpustakaan yang datang menghampiriku.
“Iya bu, dikit lagi nih” ucapku memohon sambil menyelesaikan bacaanku. Setelah semua selesai, aku pulang menujukost ku, menyusuri jalan sambil terus memikirkan ide untuk skripsiku. Aku terus berpikir sampai-sampai terbawa dalam mimpi.
Keesokan harinya, waktuku habis untuk kunjungan dari satu perpustakaan ke perpustakaan yang lain. Mulai perpustakaan fakultas, MSI, UPTI, UPT II yang terletak di dekat gedung pusat sampai perpustakaan MM, baca Koran dan searching internet. Tujuanku cuma satu, mencari masalah terkini yang bisa kutuangkan jadi skripsi. Akhirnya,perjuanganku tidak sia-sia. Aku menemukan ide yang sesuai dengan kondisi perekonomian negara sekarang ini. Aku yakin, pak Dedi tidak akan marah-marah lagi.
Hari ini aku akan menghadap pak Dedi. Dengan penuh harap-harap cemas, aku menunggu giliran konsultasi. Aku baru sadar kalau aku peserta terakhir dan akhirnya...aku bertemu lagi dengan kursi panas itu. Tanganku gemetar, jantungku terasa mau copot menyerahkan proposal skripsiku.
Sekilas wajah pak Dedi terlihat cerah, perasaanku kembali normal, hatiku sedikit lega.
“Bagus...bagus. Ini baru ide! Bagaimana para investor menyikapi kondisi ekonomi di Negerikita yang semakin carut marut. Saya senang karena kamu sudah berusaha. Sekarang proposal ini saya Acc!” ucap pak Dedi sambil tersenyum. Aku seperti bermimpi! Kucubit lenganku. Aduuh..sakit! Akutidak sedang bermimpi. Ini kenyataan!. Ucapan pak Dedi barusan membuatku seperti seorang pengembara yang mendapat setetes air di tengah gurun. Ibarat kemarau setahun, dihapus oleh hujan sehari. Aku senyum-senyum sendiri. Usahaku tidak sia-sia. Pak Dedi yang telah selesai menandatangani proposalku terheran-heran melihatku.
“Jangan senang dulu, ini baru permulaan!” ucapnya menyadarkanku.
Kenapa sih tidak bisa melihat orang bahagia sebentar aja pak? tanyaku dalam hati. Ntah dosa apa yang telah kulakukan, sehingga aku terpilih jadi mahasiswa bimbingannya. Aku sudah sering mendapat “kata-kata mutiara” darinya. Tapi, hari ini aku merasa kata-kata pak Dedi begitu manis, semanis silverqueen kesukaanku.
Hari ini adalah hari bersejarah bagiku. Pintu gerbang skripsi akhirnya terbuka lebar. Artinya, sebentar lagi aku akan jadi alumni kampus biru. Aku melangkah dengan semangat juang ’45. Aku mulai mengumpulkan data-data yang kubutuhkan. Aku benar-benar sibuk dengan skripsiku. Aku tidak akan buang-buang waktu. Karena begitu semangatku sampai-sampai makan pun tidak teratur, kurang tidur.
Aku harus lulus! Kalimat ajaib itu yang membakar semangatku. Hari demi hari berlalu, konsultasi demi konsultasi kujalani, meski terkadang kata-kata mutiara pak Dedi masih sering bertengger ditelingaku, tapi kuanggap angin lalu. Akhirnya, skripsiku selesai. Aku kembali menghadap pak Dedi, walaupun masih ada perbaikan, masih bisa kuatasi. Akhirnya, skripsiku di Acc. Rasanya ingin berteriak saking senangnya. Tapi, tiba-tiba aku merasa sakit dibagian perut sebelah kanan. Aku pamit pulang pada pak Dedi. Sesampai di kost, aku terbaring tak berdaya. Rasa sakit itu tidak hilang juga, tapi bertambah parah. Aku kembali mereview aktivitasku selama ini. Sepertinya pola hidup yang tidak teratur menjadi penyebab semuanya. Keesokan harinya, aku check up ke rumah sakit. Aku sangat kaget waktu dokter bilang kalau aku harus operasi usus buntu. Saking kagetnya, aku tidak sadarkan diri sampai kutemukan diriku sudah terbaring di meja operasi. Operasi berjalan lancar. Dokter menyarankanku untuk istirahat beberapa hari.
Skripsi...skripsi, karenamu, aku tidak hanya korban perasaan, tapi ususku pun harus jadi korban. Sekarang aku harus siap-siap menghadapi ujian akhir, ujian pendadaran. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang harus kukorbankan. Aku tersenyum sendiri mengingat perjuanganku selama ini. Terbayang olehku saat wisuda nanti, rasanya bangga sekali. Selanjutnya aku akan menata masa depan yang lebih cerah, secerah langit hatiku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI