Imam Asy-Syāfi‘ī teladan yang shaleh. Kesalehan dan wasiat yang ditinggalkan melalui syair patut untuk dijadikan pedoman. Saat ini kita hidup berdampingan dengan pemikiran dan pengalamannya; hadir di hadapan kita syair-syair yang sarat nilai filosofis. Salah satu di antara wasiat syair ia menerangkan supaya tidak pernah menampakkan kehinaan pada musuh # sesungguhnya kegembiraan musuh [atas kehinaanmu] adalah bencana.
Pesan ini mengispirasi para pejuang di medan tempur atau dalam bertarung melawan musuh-musuh. Ketika memperlihatkan kelemahan maka dengan senang hati musuh akan menguasainya. Dari pesan ini editor terkenang sebuah kisah inspiratif dari Thariq bin Ziyad ketika melakukan penaklukan terhadap Andalussia [Spanyol].
Menurut sejarah penaklukan Spanyol diawali pada Senin, 3 Mei 711 M. Saat itu Thariq bin Ziyad membawa serta 7.000 anggota pasukan menyeberangi selat yang membelah benua Afrika dan Eropa dengan armada kapal. Sementara di hadapan harus menghadapi banyak musuh. Setelah mendarat, Thariq mengumpulkan seluruh anggota pasukannya di sebuah bukit karang yang kini dikenal sebagai “Gibraltar” [Jabal Thariq].
Dari bukit karang inilah Thariq bin Ziyad memerintahkan pasukan membakar seluruh armada kapal yang baru saja mereka gunakan menyeberangi selat Afrika-Eropa tersebut. Sang Panglima dengan gagah berani memberi pengarahan kepada seluruh anggota pasukannya, “Wahai seluruh pasukan, ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang adalah lautan, di depan musuh. Demi Allah, satu-satunya milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Musuh dengan jumlah besar dan persenjataan lengkap telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata kalian adalah pedang.”
Akhirnya berkat kesungguhan yang dibangun dengan segenap jiwa raga pasukan yang hanya berjumlah 7000 [tujuh ribu] ternyata mampu mengalahkan 100.000 [seratus ribu] pasukan di bawah komando Raja Roderic [raja terakhir Hispania/ Iberia sekarang] yang berasal dari bangsa Visigoth, yang terkenal lalim dan sombong. Ini adalah sebuah kisah perjalanan heroik, mungkin sekali terinspirasi dari syair Imam Asy-Syāfi‘i. Dan kisah ini menginggalkan keteladanan dan kecakapan bagi seorang yang bakal menjadi memimpin. Demikian juga kisah ini apabila dibawa dalam kehidupan santri.
Santri adalah pejuang. Ketika belajar di dayah atau di pondok pesantren pasti menemukan banyak kesulitan; kepahitan, kesedihan, kegelisahan dan kesusahan. Namun, sebagai seorang calon ulama dan pimpinan masa depan umat harus membekali diri dengan penuh kesabaran, keteguhan, jangan cengeng, tidak boleh gusar, mengeluh, apalagi putus asa dalam menuntut ilmu. Karena untuk memperbaiki bangsa pada masa depan ada pada tangan pemuda terpelajar dan semua itu harus mampu dibuktikan secara perkasa, kerja keras yang diberingi doa. Saya teringat sebuah pesan yang mengandung pelajaran moral untuk generasi muda terpelajar terekam dalam ungkapan Arab, “Bukanlah disebut pemuda yang mengatakan, ‘Inilah ayahku’… tetapi pemuda itu adalah yang mengatakan, ‘Inilah aku’.”[]
Banda Aceh, 14 Maret 2020
=Muliadi Kurdi=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H