Mohon tunggu...
Muliadi Kurdi
Muliadi Kurdi Mohon Tunggu... Dosen - Biodata Singkat

Muliadi Kurdi. Penulis dan peneliti ilmu-ilmu kemasyarakatan. Dilahirkan 15 Oktober 1972 di desa Kuala Lambeuso, Lamno, Aceh Jaya (dulu Aceh Barat). Mengawali pedidikan dasar (SDN) Desa Jeumuloh, Kec. Jaya (Aceh Jaya) tahun 1980. Satu tahun kemudian penulis pindah ke SDN Inpres Keude Krueng Sabee (Aceh Jaya). Melanjutkan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTsN) Calang, Aceh Jaya (1986) dan tahun 1992 menyelesaikan pendidikan SMAN Calang, Aceh Jaya. Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan pada fakultas Tarbiyah konsentrasi bahasa Arab UIN Ar-Raniry (dulu IAIN), strata dua (S2) konsentrasi fikih modern PPs (UIN Ar-Raniry) dan strata tiga (S3) konsentrasi fikih UIN Ar-Raniry Banda Aceh.[]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toleransi Orang Aceh

12 Maret 2020   16:07 Diperbarui: 12 Maret 2020   16:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aceh dikenal komunitas orang Melayu-Nusantara yang berbudaya. Budaya yang dibangun atas dasar agama, sosial dan kasih sayang. Ini dapat diamati ketika dihadapkan oleh berbagai persoalan, termasuk dalam memerhati hak-hak orang lain. Memuliakan tamu bagian yang tak terpisahkan dari orang Aceh. Prinsip ini paling mudah diamati ketika tamu yang datang ke Aceh dan berbahasa Indonesia, mereka [orang Aceh] walau sedang berbicara dalam bahasa Aceh (bahasa daerah) langsung mengubah bahasanya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa Melayu) walaupun patah-patah. Hal ini dilakukan supaya orang lain mudah memamahmi mereka sehingga tidak ada lagi kecurigaan.

Di samping bertoleransi dari sisi kebahasaan, orang Aceh, dalam sejarah, pernah memberi ruang yang luas terhadap kaum hawa [wanita]. Beberapa aspek mereka diposisikan sama dengan kaum Adam [laki-laki]. Ini terjadi ratus tahun silam dimana Aceh telah memulai praktikkan gender yang terkenal hari ini. Kaum hawa [wanita] diberi hak untuk berperang dan mengatur negara. Empat raja wanita pernah memimpin kerajaan Aceh secara berturut-turut.

Aceh punya panglima perang dari kaum hawa yang benar-benar tangguh dalam memimpin pertempuran melawan Belanda. Misalnya, Cut Nyak Dhien; Cut Mutia; Pocut Baren, Teuku Fakinah, Pocut Dibeutong, dll. Laksamana pertama dari kalangan hawa muncul di Aceh. Keumalahayati pernah memimpin perang  [komandan laut] angkatan perang Aceh. Ratusan pasukan inoeng balee [isteri-isteri yang ditinggal syahid oleh suaminya dalam perang] di bawah kepemimpinannya.

Pada 11 September 1599 M, Laksamana Malahayati dengan 2.000 prajurit bersama pasukan inoeng balee pernah menyerang kapal-kapal Belanda. Ini memperlihatkan sifat dan ciri khas dari masyarakat Aceh yang sangat toleran terhadap persaan hak terhadap wanita yang melebihi masyarakat di era globalisasi ini. Barangkali prinsip ini tidak sering dimunculkan oleh media masa sehingga catatan ini hampir saja luput dari ingatan masyarakat.

Sejarah singkat ini mengingatkan kita bahwa Aceh termasuk pioneer dalam memperkenalkan prinsip-prinsip toleransi periode awal di Nusantara, dan hingga hari ini prinsip tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Aceh.[]

Darussalam, 12 Maret 2020

=Muliadi Kurdi=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun