"Makanya kalau diundang arisan di rumah saudara itu harus datang. Gini kan akibatnya." Kata-kata Bulik Parjo seperti palu menghantam kepalaku.
Kupandangi jadah dan wajik yang sudah ditata di atas piring-piring kecil berjajar di lantai. Sosis goreng dan tiramisu masih di dalam kardus menumpuk di sudut ruangan.
Makanan itu tak jadi disajikan karena tak banyak tamu yang datang. Aku menyediakan untuk 150 tamu, namun yang datang tak lebih dari 30 orang. Mungkin kurang dari itu.
Kata Bulik ini gara-gara aku tak pernah bisa menemani suamiku menghadiri arisan di rumah saudara. Jadi mereka balas tak datang pada acara arisan di rumahku.
Aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku memang tak bisa seperti mereka yang bisa pergi-pergi kapan pun harus pergi. Aku mempunyai anak yang berkebutuhan khusus. Waktu dulu dia masih kecil, aku bisa menggendongnya ke manapun. Tapi sekarang dia sudah remaja. Aku sudah tak mampu menggendongnya. Memangku pun kalau lama aku tidak kuat.
Jadi jika suamiku pergi aku harus di rumah menjaganya. Begitu pula sebaliknya. Bagi orang yang tidak mau memahami kami pasti dia akan menganggap kami adalah orang yang tidak mau bergaul dengan tetangga. Tapi apa pun kata orang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya ingin anakku sehat, ceria dan merasa disayangi. Aku tak peduli kata orang.
"Terus makanan sebanyak ini mau diapakan? " Budhe Sarji bertanya sambil memasukkan makanan itu ke dalam kardus.
"Dibagikan ke tetangga saja Budhe. Sebagian besok saya bawa ke kantor. " Aku mengangkat beberapa kardus makanan, kumasukkan ke dalam tas plastik.
Aku menekan suaraku agar tak terdengar getaran kesedihannya. Dengan sekuat tenaga pula ku tahan air mata, agar tak jatuh. Tak boleh ada yang tahu tentang pedihnya di dalam dadaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H