Mohon tunggu...
mukti riadi
mukti riadi Mohon Tunggu... -

putra batumarta I

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai "Berkutil"

6 Maret 2014   21:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Lompatan demokrasi” yang terjadi pasca reformasi 1998, masih menyisakan efek keterkejutan politis di negeri ini. Aturan penyelenggaraan pemilu dan kepartaian masih terkesan trial and error.  Transisi demokrasi menjadi alasan argumentative yang paling sederhana untuk menjelaskan beragam riak perpolitikan tanah air. Jika pemilu 9 April 2014 mendatang dipahami sebagai suatu sistem demokrasi, tentu haruslah ada sub-sistem yang menyertainya. Eksistensi sub-sistem demokrasi itu bermaksud untuk menggaransi terpeliharanya system agar mampu bekerja efektif serta beroutput optimal. Ringkasnya, wajib hukumnya  mewujudkan integrasi manfaat antara system demokrasi dengan pencapaian tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.

Sering didengar bahwa “kepentingan” selalu menjadi soulmate kaum politisi. Tak perlu takjub, perkawinan antar politisi akan hadir manakala perpaduan kepentingan bertemu. Tetapi drama perceraian pun bukan hal tabu tatkala kepentingan tak lagi sinergi. Lebih parah lagi, semoga ini hanya kecemasan, jika politisi yang terpilih sebagai wakil rakyat justru ‘berselingkuh’ dengan obsesi dirinya sendiri. Yang membuatnya abai pada konstituen sebagai pemberi mandat.  Eliminasi kemungkinan hal itu, maka pemilu sebagai system layak dan patut disertai dengan sub-sistem demokrasi, yaitu adanya electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcement. Ketiga sub-sistem ini menyangkut rule of the game (aturan main) penyelenggaraan pemilu, yang memuat komitmen bersama dalam menjalankan ketentuan atau aturan yang bersifat mengikat, ketaatan dan kepatuhan pada urutan kegiatan (proses) serta penegakan hukum. Seandainya para politisi dan partai peserta pemilu dapat berjamaah secara tawadlu’ untuk istikomah menjalankan sub-sistem itu, maka bangsa ini akan bermartabat.

Ilmu ekonomi mempunyai terminologi yang unik untuk menjelaskan kaitan antara harapan (normative) dengan kenyataan (empiris). Secara normative, partai adalah tempat bergelantungnya para caleg yang seyogyanya memiliki sejumlah barisan dan tingkatan kader. Caleg merupakan representasi kader “terbaik” yang mewakili barisan dan tingkatan itu. Namun fakta empiris tidak selalu identik. Ada variasi di sana-sini, bahkan biased kepartaian massif terjadi. Akibatnya, hubungan antara partai, caleg, kader dan konstituen tidak berpola. Masing-masing menjadi pencilan (outlier) bagi yang lain.

Dari situlah, terjadi keadaan yang dikenal dengan istilah informasi asimetris (assymetric information). Pemilih tidak mengenal latar belakang para caleg, sementara caleg lebih mengetahui kondisi pemilih. Informasi tentang pemilih seperti; preferensi, kondisi sosial-ekonomi, serta pola perilaku, telah dikumpulkan dan dipelajari oleh caleg melalui aneka saluran. Sebaliknya, pemilih tidak memiliki kemampuan untuk mengenal para caleg. Situasi demikian membangkitkan syahwat para caleg dengan libido asal terpilih (menang). Jalan pintasnya, transaksi suara (jual-beli suara) atau politik uang (money politic) tak terhindarkan. Perilaku moral hazard sekaligus adverse selection berbaur di sini. Aroma praktik politik uang semacam itu memang berbau tak sedap lagi anyir. Namun sangking meratanya bau itu, seolah kita tak lagi merisaukannya.

Apapun argumentasinya politik uang tetap salah dan tidak diperkenankan! Demokrasi menjadi ternoda karenanya. Tak berlebihan, jika partai yang para politisi atau calegnya mempraktekkan politik uang layak disebut Partai “Berkutil”.  Berbeda dengan tahi lalat yang dapat mempermanis penampilan, kutil tetaplah penyakit. Dalam kondisi suci, kutil memang tidak membatalkan sholat. Namun jika kutil tumbuh banyak, kita perlu waspada. Jangan-jangan itu sudah gejala kanker yang harus segera diamputasi! Wallahu a’lam bis showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun