Pada 1998 setelah Soeharto turun tahta dan reformasi bergulir, ada peristiwa mencekam di Banyuwangi, yaitu pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet.
Rumah orang-orang yang dianggap punya kekuatan mistis ditandai oleh orang tak dikenal.
Bupati Banyuwangi pada waktu itu, Purnomo Sidik, meminta para camat mendata orang-orang punya kekuatan supranatural UNTUK DISELAMATKAN.
Sayang, data itu bocor. Orang yang harusnya diselamatkan malah jadi sasaran pembantaian para ninja. Ninja-ninja itu datang dari luar kota karena mereka berbahasa Indonesia dan datang dengan truk. Lebih dari 100 jiwa pulang ke alamnya karena dipaksa lepas dari raga yang terbantai.
Pelan-pelan Banyuwangi berubah. Dari kota santet menjelma jadi kota wisata terutama pada era kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas 2010-2020.Â
Ragam budaya dikemas dan digelar di sejumlah lokasi wisata seperti Pantai Pulau Merah, Kawah Ijen, Teluk Hijau, Pulau Tabuhan, Air Terjun Lider, Pantai Watu Dodol, dan Pantai Plengkung.
Beragam festival juga dihelat. Selama 2019 saja ada 99 festival budaya, bertambah 12 event dari tahun-tahun sebelumnya. Tiga festival dari Banyuwangi tersebut masuk ke calendar of event Wonderful Indonesia di Kemenparekraf, menjadikan Banyuwangi sebagai daerah terbanyak yang menyumbang acara kreatif di 2019.
Di pulau Jawa, seperti Banten, Banyuwangi memang dikenal sebagai daerah dengan kekuatan ilmu gaibnya yang tersohor.
Santet di Banyuwangi pada masa lampau berkaitan dengan culture sosial keagamaan, bukan kejahatan. Orang yang hendak melahirkan, misalnya, minta air minumnya didoakan oleh kyai agar persalinannya lancar dan selamat. Hal itu bisa disebut santet putih.
Santet bagi orang Banyuwangi adalah hal-hal yang berhubungan dengan religi, untuk berhubungan dengan Sang Khalik lewat perantara manusia salih.