Kemarin saya penasaran dengan poster yang dipajang di sebuah cafe tak jauh dari rumah. Ada menu baru, sego megono. Penasaran, dengan suami saya mampir. Pas masuk, ternyata yang ini sego megono khas Pekalongan. Bahannya didominasi nangka muda. Memang saya tahu di Pekalongan juga ada sego megono. Tapi, yang saya kangeni adalah sego megono khas Purworejo, khususnya di Baledono, kampung dan desa saya. Selain nangka, justru sayuran hijau yang mendominasi. Rasanya agak berbeda dengan sego megono dari Pekalongan. Konon katanya, asal muasal munculnya sego megono ini tak jauh-jauh dari kultur masjid, dan kebiasaan pedagang arab jaman dulu yang dibawa ke tanah Jawa. Untuk acara tertentu, orang Arab biasa mengakhirinya dengan makan nasi kebuli dengan cara melingkar dalam satu nampan besar. Nah, kultur ini diserap oleh masyarakat pada waktu itu, tapi bahan-bahannya diganti dengan yang lebih merakyat. Nasi kebuli kan identik dengan daging, sementara masayarakat Jawa kebanyakan malah jarang ketemu daging saat makan. Jadilah bahan-bahannya diganti nangka muda (pura-puranya daging kambing, he) dan juga sayuran serta ikan asin. Maka, wajar kalau sego megono ini ada di Pekalongan dan Purworejo, kota yang kultur masjidnya masih sangat kental dan banyak pendatang dari arab yanng mukim disana. Sampai sekarang di Baledono sego megono ini tetap dijadikan ikon untuk acara-acar besar keagamaan di masjid. Misalnya usai acara shalat ied, khataman Quran, dan lain sebagainya. Bisa dipastikan telah disiapkan beberapa tampah (nampan bulat dari bambu) besar berisi sego megono dan lauk pauknya: tempe kemul, telur asin, atau tahu tempe bacem, dan peyek teri. Satu tampah bisa untuk makan 5 hingga 7 orang. Itu justru momen yang sangat dinanti bagi orang kampung yang sudah lama merantau, seperti saya ini. Ohya, untuk hari-hari biasa, beberapa penduduk masih ada yang menjual sego megono ini, khusus hanya untuk menu sarapan pagi. Seperti nasi uduk lah, kalau di jakarta. Dijual dalam bungkusan kecil-kecil, seperti nasi kucing, sebungkusnya berkisar hanya Rp 2000 sampai Rp 3000. Itu pun kita bisa request untuk membeli urapannya saja (tanpa dicampur nasi). Biasanya, penjual juga menyediakan tempe kemul nan hangat untuk teman makan nasi, yang dijual secara terpisah. Nah, beruntung saya memiliki ibu yang lalu meninggalkan resep tradisional warisan nenek moyang ini. Buku resepnya aja masih jadul, tulisannya ejaan lama, pakai kertas stensilan. Benar-benar warisan nenek moyang lah. [caption id="attachment_291666" align="aligncenter" width="300" caption="sego megono khas baledono"][/caption] Tertarik untuk mencobanya? Nih ada resepnya lhoo RESEP NASI MEGANA KHAS BALEDONO Resep ini persis sesuai buku resep turun temurun, dari CV. NENEK MOJANG. (tuh liat buku resepnya aja masih stensilan, xixixi  ) BAHAN: • beras, • sajuran (katjang pandjang, daun katjang, nangka muda), • djeruk purut, • ikan asin ketjil (pethek) • bumbu urapan ditambah dg brambang (bawang merah), • ketumbar, • djinten, • salam, • laos, • pete, • sere MEMBUATNJA: beras dikupas, sehingga setelah masak direndam dengan air seperti biasa. Djika sudah akan dkembalikan dalam kukusan jang sudah setengah masak ini ditjampur dengan urapan mentah berlapis2 dengan nasi, atau urapan dimasukkan dalam kukusan lalu dikukus sampai masak. VERSI BARU: Bikin nasi aronan, pas ngukusnya dibuat berlapis nasi aron-urapan-nasi aron-urapan. Ikan asin dipotong kecil2 dicampur dalam urapan. Pilih kelapa yang betul2 muda supaya yummy. Jika suka pedas, tambahkan dengan cabe merah/rawit sesuai selera untuk urapannya. [caption id="attachment_291667" align="aligncenter" width="604" caption="sego megono "]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H