Mohon tunggu...
Mukti Amini Farid
Mukti Amini Farid Mohon Tunggu... -

seorang ibu rumah tangga biasa, yang ekspresif, ulet, romantis, dan detail. sekarang nyasar profesinya jadi dosen PAUD di sebuah kampus negeri. tapi kadang2 juga jadi peneliti, kadang auditor, kadang redaktur, kadang konsultan TK, kadang narsum tivi, kadang tukang fotokopi, kadang operator telpon, kadang juru ketik, kadang guru ngaji, kadang badut, whateverlah. kerjaan apa aja asal halal, sabet aja. he

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Haji Gratis, Tapi Lebih dari Gratis

25 Oktober 2013   21:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini berkaitan dengan status saya di media sosial hari ini:

---- haji, ibadah yg butuh banyak kesiapan: fisik, mental, finansial, & ilmu. tentang kesiapan finansial, itu sangat relatif.

bagi saya & suami, prinsipnya sesegera mungkin. rumah masih ngontrak pun ga masalah. mumpung anak2 masih kecil, belum banyak biaya untuk sekolah. jangan nunggu tua, saat napas sudah terengah2.

obsesi kami dulu, sebelum usia 40 tahun harus sudah bisa berhaji. alhamdulillah, Allah ijabahi ---

Maka ceritanya begini. Sejak menikah, sudah cukup lama kami membuka tabungan haji. Saking penginnya bisa berhaji, meski kudu nyicil tiap bulannya, entah sampai kapan. Namun Allah Maha mengetahui keinginan kuat dari hamba-Nya. Saat tiba-tiba ada rezeki nomplok dari kompensasi pelanggaran HAKI, kami punya uang untuk ONH, tapi cuma cukup untuk perjalanan 2 orang. Sempat bingung siapa yang harus berangkat dulu, kami berdua, atau orang tua (ibu kandung dan ibu mertua). Konsultasi pada ustadz tentang kaitan dalil ‘tidak ada itsar dalam ibadah wajib’, beliau jawab: “Tetap dalil tersebut dipakai. Tapi karena haji berkaitan dengan ibadah fisik, alangkah mulianya jika uang yang ada untuk kedua orang tua dulu. Adapun anak diasumsikan dapat segera mencari biaya perjalanan lagi, karena tenaganya masih kuat."

Lalu, ibu dan ibu mertua (bapak-bapaknya sudah haji-red) kami daftarkan. Eh, ternyata tahu-tahu ada rezeki lebih lagi, untuk 1 orang. Buru-buru mendaftarkan nama suami. Alhamdulillah bisa masuk. Eh, tahu-tahu lagi, ada rezeki lagi untuk 1 orang lagi, buru-buru mendaftarkan nama saya. Tapi memang saya belum rezeki berangkat di tahun yang sama (data berubah drastis dalam hitungan menit tiap hari), saya masuk waiting list 2 tahun kemudian. Saya kranthil, ketinggalan. Tak mengapa, yang penting suami bisa menemani ibunya dan ibu saya. Tahun 2004 itu, suami berumur 32 tahun.

Tampilan kami mungkin memang belum pantas untuk pergi haji. Rumah di gang sempit, gubug, gak ada isinya apa-apa. Motor juga motor dinas. Anak-anak masih balita, 2 orang. Mobil sekedar seken tahun jadul pun belum mampu beli, apalagi seken yang umur muda. Ini menimbulkan banyak pertanyaan dari para tetangga, “Hajinya dapat biaya dari kantor ya? Atau ada hadiah dari mana, gitu?”

Haemm, hadiah dari Allah, tentunya :)

Dua tahun kemudian, akhir tahun 2006, saat saya berumur 34 tahun, saya menyusul berhaji, sendiri. Sebelumnya, saat bulan Ramadhan, saya dikejutkan dengan kenyataan: tahu-tahu hamil! Padahal, pelaksanaan haji tinggal beberapa bulan lagi. Sempat galau, jangan-jangan saya batal berangkat. tapi saya langsung ingat nasehat YM, jika ada masalah, sedeqah saja minimal 10%, semoga ada jalan. Saya coba lakukan itu, onh plus biaya kesertaan KBIH sekitar 30-an juta lah (tahun 2006). Bismillah, saya infaq hanya 3 juta saja. Dan Alhamdulillah, meski hamil, tetap bisa berangkat. Pulang dari haji, saya disodori amplop oleh suami, "Nih belum mas buka. Jadi gak tahu berapa isinya. Uang honor apa, lupa juga, proyeknya udah lama tapi baru dibayar sekarang.”

Pas saya buka, Subhanalllah, ternyata uang 30 juta, jumlahnya persis biaya yang saya keluarkan untuk berhaji. Ajaib, ini ajaib!

Satu lagi, tepat beberapa bulan sebelum saya berangkat, di awal tahun 2006 itu, suami alhamdulillah, lagi-lagi mendapat rezeki, sehingga kami bisa membeli mobil seken tahun 1992-an. Lumayanlah untuk tidak kehujanan dan kepanasan jika pergi jauh. Harga mobil itu 34 juta, saya ingat betul karena waktu itu berdekatan dengan milad suami ke 34. Jadi, rasa-rasanya seluruh biaya ONH suami pun tergantikan, malah bisa beli mobil segala, yang itu benar-benar di luar rencana, karena saya juga pergi haji di akhir tahun itu, sehingga semua simpanan awalnya difokuskan untuk bekal perjalanan haji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun