Kemudian pada tahun 2019, luas lahan dan hutan Indonesia yang terbakar sebesar 857.755 hektar (KLHK, 2019). Sedangkan Sumatera Selatan mengalami perluasan lahan yang terbakar dari tahun 2016 sampai dengan 2019. Pada tahun 2016 seluas 8.784,91 hektar menjadi 52.716 hektar pada tahun 2019 (KLHK, 2019). Luas kebakaran tersebut dihitung berdasarkan analisis citra satelit lansat 8 OLI/TIRS yang dikoordinasi oleh Manggala Agni.
Menurut data Wetlands International Indonesia Programme pada tahun 2005 diperkirakan lahan rawa gambut di Indonesia luasnya 20,6 juta hektar dari daratan Indonesia. Selain itu, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia memafaatkan lahan basah sebagai lahan perkebunan. Pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,2 juta hektar, dan akan mengalami peningkatan 2 kali selama 30 tahun (IOPA, 2017).
Berdasarkan data Global Forest Watch pada tanggal 1 Juli sampai dengan 24 oktober 2019, di Indonesia kebakaran lahan di konsensi kelapa sawit mencapai 7% sedangkan 80% berasal diluar konsensi perkebunan. Pada tahun 2014 di Sumatera Selatan dari total 7.234 hotspot titik api, ditemukan 4.229 titik api di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Â Sedangkan pada tahun 2015, titik panas ditemukan mencapai 23.043 yang tersebar di tiga kabupaten terbanyak yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir sebanyak 16.008 titik api, Kabupaten Musi Banyuasin sebanyak 5.249 titik api dan Kabupaten Banyuasin sebanyak 1.665 titik api.Â
Deskripsi Masalah
Secara umum, kebakaran lahan dan hutan rawa gambut lebih dari 90% disebabkan oleh faktor manusia dalam hal ini pengelola lahan adalah masyarakat sipil maupun pihak perusahaan (subagyo, 2003). Kemudian data dari platform daring Pantau Gambut pada tahun 2019 menyaikan, terdapat 5.138 titik api yang berasal dari perkebunan kelapa sawit dari 7 Provinsi di Indonesia. Sumatera Selatan menjadi penyumbang titik api terbesar kedua dengan jumlah 984 titik api, setalah Jambi sebanyak 2.227 titik api (Pantau Gambut, 2019). Titik api tersebut dipantau dengan hotspot NASA FIRMS dengan sistem proyeksi WGS84 Geographic Coordinate System.
Menurut Darjono (2003) dalam makalah kebakaran lahan rawa atau gambut di sumatera; masalah dan solusi, ia mengemukakan salah satu metode yang murah dan efektif dalam membangun perkebunan maupun HTI adalah dengan cara membakar. Menurut data dari pantau gambut (2019) Wilayah Provinsi Sumatera Selatan memiliki 984 titik api yang berasal dari perusahaan perkebunan dan industri kelapa sawit yang memiliki izin HTI dan HGU yang berjumlah 23 perusahaan. Kemudian, pembakaran lahan juga merupakan salah satu cara menaikan pH tanah yang digunakan oleh perkebunan besar, dari hasil pembakaran pH tanah dapat naik sebesar 1 sampai dengan 2 tingkat drajat keasaman (Syumanda, 2003). Sedangkan sawit dapat tumbuh subur dengan pH tanah 5 Â sampai dengan 6 drajat keasaman.
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Terdapat tiga hal yang perlu pemerintah Republik Indonesia tindaklanjuti tentang pengelolaan lahan basah di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan. Pelaksanaan perlu ditatakelola dengan prisip-prisip lingkungan hidup agar terjaganya keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan hidup. Dengan adanya berbagai hal yang perlu ditindaklanjuti tersebut, maka adanya rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan yaitu :
 Rekomendasi Pertama, perlunya membentuk kebijakan perihal batasan wilayah kerja dan luas perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Pembatsan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi perusahan untuk melakukan pengawasan dan pencegahan kebakaran di wilayah konsensi perkebunan. Kemudian daripada itu juga,
Rekomendasi Kedua, belum adanya penegakan kebijakan yang jelas dan adil dari pemerintah mengenai pembakaran hutan dan lahan gambut. maka dari itu, adanya regulasi yang menjadi pedoman dalam pembukaan dan pemanfaatan lahan basah secara spesifik, jelas dan transfaran.Â
Selain itu, menjalankan strategi koordinatif melalui peraturan pemerintah nomor 4 tahun 2001 tentang penendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran huta dan lahan, serta mematuhi Intruksi Presiden nomor 11 tahun 2015 tentang peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yang kemudian diproyeksikan dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dimana urusan kehutanan tingkat kabupaten menjadi urusan tingkat provinsi kecuali urusan taman hutan raya.Â