"Tuh lihat, si Nisa sudah lancar bacanya. Kamu sudah mau masuk SD tapi belum bisa baca juga"
Itu Putri, ibu muda dengan dua anak, sedang mengomeli Bunga anak sulungnya. Kebetulan Putri sedang bertandang ke rumah Sri, ibunya Nisa. Omelan khas ibu-ibu yang khawatir anaknya belum jua lancar membaca. Apalagi dibanding anak tetangga nan sebaya.
Familiar kan dengan omelan-omelan semisal itu? Maklumlah, biasanya kan memang begitu. Saat anak sekolah, persaingan akademis akan terjadi antar orangtua. Utamanya soal baca, tulis dan berhitung (calistung) anak. Lah? Siapa yang sekolah? haha.
Ada semacam siklus tak benar perihal calistung ini. Beberapa sekolah dasar mensyaratkan murid baru untuk bisa membaca. Orangtua lalu bergerilya mencari TK atau PAUD yang punya program unggulan anak bisa calistung dalam waktu setahun!
Pemerintah sendiri telah melarang pengajaran calistung untuk anak usia dini melalui Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2009 (lihat beritanya di sini).
Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 juga menegaskan bahwa penerimaan siswa kelas 1 SD/MI tidak boleh disandarkan pada tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung (lihat sumber di sini).
Program calistung pada anak usia dini adalah pengingkaran terhadap fase tumbuh kembang anak. Lembaga pendidikan anak usia dini punya permasalahannya sendiri
"Kalau tidak kami lakukan, kami tidak dapat murid. Nanti guru mau digaji dengan apa?"
Orangtua-TK-SD kemudian menjadi semacam lingkaran setan menyangkut calistung ini. Dilarang secara aturan, namun dimaklumi di lapangan. Memangnya, seberapa perlu mengajari anak membaca?Â
Data dari BPS 2019 menyebutkan ada 14.78 persen warga Indonesia buta huruf. 4.86 persen di antaranya berada pada rentang usia 15-44 tahun alias usia produktif. Sedangkan survei UNESCOÂ pada 2019 minat membaca anak Indonesia sukses menempati urutan kedua. Terendah kedua maksudnya.