Bagaimana mungkin klub yang baru dibentuk pada tahun 2009, mampu menembus semifinal Liga Champion 11 tahun kemudian? Berikanlah rasa hormat, pada manajemen Red Bull Leipzig.
**
RB Leipzig punya keunikan tersendiri sebagai klub sepakbola. Diantara peserta perempatfinal Liga Champion, mereka adalah tim yang dikomandoi oleh manajer termuda. Julien Nigelsman baru menginjak 33 tahun.
Bayangkan saja, usia segitu biasanya seorang masih aktif sebagai pemain. Lionel Messi 33 tahun. Ronaldo 35 tahun.
Bukan hanya manajer yang muda. Skuad pun diisi oleh pemain-pemain usia muda. Rataan usia pemain Leipzig di musim ini adalah 23 tahun. Tak salah, Leipzig sendiri pun baru berusia 11 tahun sebagai sebuah klub.
Bila menyimak nama Red Bull, tentu kita akan seketika teringat pada merek minuman berenergi yang bermarkas di Austria. Dalam dunia olahraga, Red Bull juga bukanlah nama yang asing. Khususnya di sepakbola, ada beberapa tim yang bernaung dibawah kepemilikan Red Bull. New York Red Bull (AS), RB Salzburg (Austria), Red Bull Brazil, dan RB Laipzig (Jerman).
Bagaimana manajemen Red Bull sebagai sebuah perusahaan besar dalam  mengakuisisi dan mengolah sebuah klub sepakbola patut untuk diperhatikan. Ada beberapa hal yang antimainstream disitu, bila dibandingkan dengan tim semisal Chelsea, PSG dan Manchester City.
Membangun Dari Bawah
Pada era sepakbola modern, pergantian kepemilikan sebuah tim adalah hal yang jamak. Sejak dimulai oleh Roman Abramovic dengan mengambil alih Chelsea pada 2003, dimulailah sebuah hobi baru dari para miliarder.
Para orang kaya ini, berlomba memiliki klub sepakbola Eropa, menyuntikkan dana besar untuk mendatangkan pemain bintang, sekaligus menjadikannya sebagai entitas bisnis. Jalan pintas.
Manchester City, PSG, Internazionale, Valencia, Milan adalah sederet klub yang mengalami pergantian kepemilikan  dan disuntik dana jutaan euro untuk mengangkat prestasi klub. Ketertarikan calon pemilik tentu didasari bahwa tim-tim ini sudah punya nama.