Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Nanti Salah Jurusan

24 Januari 2019   12:30 Diperbarui: 24 Januari 2019   12:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi kelima itu, saya bermaksud ngobrol-ngobrol dengan mahasiswa, sebagai pembuka pertemuan perkuliahan. Maka jadilah saya minta mereka cerita soal dirinya dan impian-impiannya di masa depan. 

Mengapa begitu? Karena ini berkaitan dengan erat dengan motif kuliah di jurusan pendidikan guru. Adakah mereka kuliah keguruan karena benar-benar ingin menjadi guru?

Maka mengalirlah cerita-cerita yang menarik soal diri masing-masing. Soal impiannya juga. Takjub saya, di kelas keguruan ini, saya berhadapan para calon. Ada calon pramugari, presenter acara petualangan, dosen, jenderal, guru, penyanyi. Hah? Iya, itu impian anak-anak muda mahasiswa keguruan ini. Ada juga yang belum tahu mau jadi apa nanti. Aneh, padahal waktu kecil dulu, pasti cita-citanya banyak. Kenapa sekarang jadi tidak tahu?

Pertanyaan yang pasti langsung terlintas adalah : lalu ngapain kuliah keguruan kalau tak ingin jadi guru? 

Dan kemudian terjawab oleh kisah-kisah mereka. Seseorang bertutur bahwa betapa kuliah adalah jalannya untuk mengangkat martabat keluarganya. Menjadi sarjana adalah caranya untuk membela kehormatan diri dan keluarga. 

Seorang lain berkisah pula, pendidikan adalah pelariannya dari kekosongan waktu yang tidak ada gunanya (baca= nganggur). Ada pula kisah bahwa kuliah lah ajang dia membuktikan diri di hadapan teman-teman dan keluarga. Dan, kisah-kisah itu dialirkan bersama air mata. Nangis? Iya, sungguh. Mereka menangis di hadapan saya dan teman-temannya.

Saya jadi tercenung. Sebegitu komplekskah motif seseorang menempuh pendidikan? Pendidikan tak selalu bermakna "untuk menjadi-". Terkadang pendidikan menjadi tempat pencarian, kadang pula menjadi tempat pelarian. Tak jarang pula ia menjadi pembuktian. Tak pula sedikit yang sekolah karena harus, biar jadi warga negara yang baik. 

Seorang bijak pernah berkata "kuliah itu untuk membuat pemikiranmu menjadi sistematis". Dengan pendidikan, pola pikIr seseorang akan lebih tertata, berwawasan lebih luas, dan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan (ini yang mungkin disebut cerdas?). Pernah pula saya temukan tulisan di bukunya Pidi Baiq, bahwa "pergi sekolah itu biar bertemu teman-teman". Maksudnya, pendidikan dalam justru lebih banyak didapatkan dari pergaulan dengan teman daripada di kelas.

Dan kemudian, saya jadi dipusingkan dengan "kesepakatan" bahwa kuliah adalah membentuk tenaga terampil yang profesional di bidangnya. Seorang mahasiswa teknik, selepas lulus tentu diharapkan jadi insinyur yang handal. Pelajar di jurusan komunikasi, tentu akan jadi jurnalis hebat. 

Begitupun mahasiswa keguruan, tentu nanti menjadi guru professional sebagai kompetensinya (kalau tidak percaya, lihatlah profil lulusan masing-masing jurusan, hehehe). Jika demikian, bagaimana akan mencapai kompetensinya bila motif dan tujuan kuliahnya tidak sejalan?

Data BPS per Agustus 2018 menyebutkan bahwa dari 124,01 juta penduduk yang bekerja, lulusan universitas sebanyak 11,65 juta orang alias 9,40%. Mayoritas tenaga kerja justru berasal dari tingkat pendidikan SD ke bawah (40,69%). Dengan angka 9,40% itu, maka para alumni kampus yang bekerja termasuk makhluk langka alias sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun