Polarisasi Politik dan Fanatis Identitas
Polarisasi politik pada pemilu 2019 ketara dirasakan oleh siapapun, terbelahnya masyarakat karena adanya perbedaan pilihan dalam hal dukung mendukung salah satu calon presiden dikala pilpres.Â
Perkembangan dari demokrasi yang lahir dari bibir dan jari yang menarasikan politik identitas, menjadi kelompok massa yang terbagi dua kelompok besar yang saling bertolak belakang 'pro-kontra' satu sama lain.
Berkonotasi berujung kearah pergesekan dan perseteruan lalu menciptakan sensi dan tensi pilpres 2019 yang lalu terasa panas, dari perang urat syaraf sampai dengan saling lontar ujaran kebencian antar sesama anak bangsa.
Yang cenderung bersifat fanatis dan bar-bar. Bertindak secara berlebihan dalam menilai pilihan, dan benci terhadap pilihan orang lain. Menganggap pendukung yang berbeda sebagai musuh, serta salah.Â
Munculnya istilah, kampret, kecebong, dan kadrun, yang saling berlawanan. Menjadi simbol identitas, manifestasi dari perwujudan loyalis sejati diantara pemilih, sebutan nama antar pendukung.
Realitas polarisasi politik ini adalah pemandangan yang nyata ditemui pada pilpres 2019. Terlihat jelas, baik sebelum pelaksanaan, setelah pilpres dan masih saja terus berlanjut.
Hingga kinimasih tetap bertahan, di masa sekarang. Kelompok massa yang antipati kepada orang-orang dan kelompok tertentu adalah bukti nyata. Hasil dari dampak polarisasi politik di ranah publik,eksis pokoknya.
Bermain dengan narasi, jual beli sindiran antar pendukung masih hangat terjadi di media massa dan status media sosial. Satu pihak menjagokan yang satu dan satu pihak menjatuhkan yang lainnya.
Satu pro pemerintah dan satu pihak berada pada barisan kontra sebagai pembenci, sebagai klaim oposisi jalanan. Berupaya memperkeruhkan suasana dengan membangun opini publik, kegaduhan.