Kedurai Agung atau juga Kedurei Agung merupakan acara adat dalam suku Rejang yang diwariskan secara turun temurun. Pusaka dari nenek piyang (leluhur) hingga saat ini masih berlangsung dan selalu diadakan oleh orang Rejang.
Dalam momentum peringatan HUT kota Curup misalnya. Kedurai Agung upacara adat yang sakral sebagai bentuk pelestarian terhadap kearifan lokal, maka tidak heran bila perayaan HUT kota Curup pelaksanaan Kedurai Agung mesti dilaksanakan.
Apabila dilihat dari jejak ritual adat ini, kepercayaan cenderung bersifat animisme dan bercorak pada agama Hindu-Buddha. Perjamuan dengan pernak pernik ritual beraura mistis, do'a rezeki pada diwo/dewa, punjung (nasi kuning/tumpeng) dan bakar kemenyan.
Kedurai Agung bukti nyata adanya akulturasi kepercayaan leluhur dengan kepercayaan baru (Hindu-Buddha) bila dilihat dari prosesi dalam acara adat. Simbol-simbol pada rangkaian upacara pelaksanaan.
Hal bisa diterima juga bisa diterima bila berkaca pada literatur sejarah Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan Buddha. Demografi suku Rejang tak luput dari daerah kuasa kerajaan Siriwijaya, bagian Sumatera Selatan kala itu.
Dan bisa juga terkontaminasi/pembauran ajaran Hindu dari pulau Jawa. Yakni kerajaan Majapahit. Seperti kisah empat biku keturunan Majapahit. Yang datang ketanah Rejang yang dikenal daerah Pinang Belapis/Renah Sekalawi.
Jadi asimilasi budaya suku Rejang pada dua agama ini bisa saja terjadi sebelum akulturasi Islam. Tradisi/kebudayaan telah bersahaja, Rejang Pra-Islam (sebelum datangnya Islam).
Istilah Kedurai  Agung atau juga sering dilafadzkan Kedurei Agung. Variasi pengucapan kata setiap daerah orang Rejang berbeda.Â
Namun pemaknaan tetap sama, mungkin karena faktor adaptasi masyarakat atas wilayah sekitar, yang membentuk logat/dialek. Seperti dialek Rejang Curup, Kelapahiang, dan Lebong berbeda satu sama lain, punya ciri khas. Sinonim tetap sama.