Islam adalah agama Rahmatan lil Alamin, yang memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam. Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Berlakunya hukum-hukum lokal yang menyertai kebijakan-kebijakan publik dalam kerangka teologi keagamaan merupakan kearifan mendasar yang harus dijadikan basis kebijakan bagi setiap pengambilan keputusan terkait praktik keagamaan.
Pentingnya mempertimbangkan penyertaan hukum-hukum lokal merupakan suatu kerangka berfikir populis, artinya bahwa konstruksi hukum-hukum lokal diproduksi secara sistematik dan filosofis oleh suatu konsesus pengalaman kebudayaan dan norma lokal.
Rene Char penyair Prancis menyatakan “kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat (notre heritage n’est precede d’aucun testament)”.
Kreativitas yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia telah memberikan variasi perilaku keagamaan yang berbeda-beda antara umat yang satu dengan yang lainnya. Tradisi umat Islam di Sumatera mungkin akan berbeda dengan di Jawa. Islam di Jawa pesisir dan pedalaman pun sudah kelihatan perbedaannya. Perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dan dapat menjadi rahmat bagi manusia.
Berbeda juga sudah menjadi sunatullah. Oleh karena itu, cara beragama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dapat berbeda. Perilaku keberagamaan akan senantiasa dipengaruhi oleh kultur setempat.
Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan kultur yang ada. Agama yang eksklusif akan ditinggalkan oleh umatnya jika tidak dipengaruhi oleh kultur, di mana agama itu berkembang, dan agama tidak akan berkembang dengan baik jika melakukan distorsi terhadap budaya.
Fran Magnis Suseno mengatakan bahwa Islam yang diperkenalkan ke Indonesia pertama kali (khususnya di pulau Jawa) pada dasarnya bukanlah Islam yang utuh sebagaimana yang terlihat selama ini (bukan Islam dalam bentuk yang murni).
Artinya kontaminasi ajaran Islam terhadap budaya dalam konteks akumulasi konsep Islam dan Infiltrasi pada budaya yang telah ada di Masyarakat. Ini lebih baik penerimaannya ketimbang memaksakan konsep Islam secara frontal. Apabila pemaksaan dilakukan maka pergesek-kan yang tidak diinginkan dan berakhir pada sebuah konflik. Terutama pada masyarakat yang memilki tradisi yang telah bersahaja.
Masuknya Islam Di Nusantara
Sebelum mengkaji tentang masuknya Islam ke Tanah Rejang ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang masuknya Islam ke Indonesia, Sebab masuknya Islam ke Tanah Rejang tak terlepas dari cerita masuknya Islam ke Indonesia. Banyak pendapat yang kemudian menjadi sebuah teori terkait tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama teori India. teori ini berasal dari sarjana Belanda yakni Pijnappel kemudian dikembangkan oleh Snuck Hurgroje. Dengan tegas Moquette mendasarkan teori ini setelah mengamati Batu Nisan di Pasai khususnya yang tertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428, serta batu nisan Maulana Malik Ibrahim (w 822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Kedua batu nisan tersebut sama bentuknya artinya itu bukan batu nisan lokal akan tetapi impor dari Gujarat oleh karenanya orang-orang nusantara mengambil Islam dari sana.
Teori Batu Nisan Gujarat walau banyak mendapat kritikan namun banyak juga sarjana yang mengakui teori ini di antaranya Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke dan Hall.
Kedua teori Arab, teori ini dipegang oleh Keijzer, beliau mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir sebab kedua wilayah tersebut sama-sama bermazhab Syafi’i. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollender dangan sedikit perbedaan bahwa Islam Nusantara bukan berasal dari Mesir akan tetapi Hadramaut; Yaman.
Teori ini dibela gigih oleh Naguib Al-Attas, Marrison dan sebagian ahli Indonesia juga setuju dengan teori ini. Intinya teori ini menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia langsung dari Arab bukan pada abad ke XII atau XIII Masehi akan tetapi pada abad I Hijriah atau abad VII Masehi.
Ketiga teori Sufi. Teori ini tidak bicara misi muslim untuk menyebarkan Islam di Nusantara dari India; teori India atau pun Arab; teori Arab. Akan tetapi karena misi orang yang berasal dari India atau Arab adalah untuk berdagang.
Artinya kecil kemungkinan para pedagang datang ke Indonesia sekaligus dengan misi menyebarkan Islam akan tetapi mereka hanya berdagang dan pedagang muslim yang ahli sufi.
Faktor utama dari teori ini adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan Atraktif dan banyak sumber yang menceritakan pengenalan Islam oleh guru-guru dengan karakteristik sufi yang kental.
Disamping ke-tiga teori tersebut menurut Hery Noor Aly dan Salim Bela Philli perlu juga perlu ditawarkan teori alternatif yaitu Teori Melayu. Teori melayu ini dikemukakan untuk dapat menentukan sejarah masuknya agama Islam ke wilayah-wilayah selain Samudera Pasai dan Gresik.
Pelaku dakwahnya sebagian besar adalah penduduk pribumi Nusantara sendiri yang telah memeluk agama Islam. Dengan demikian teori Melayu lebih relevan dengan Islamisasi di Wilayah Minangkabau, Cirebon, Gowa, Sulawesi, Ternate Tidore, Sulu, sampai Mindanao, Pattani (Filipina) demikian juga di wilayah Bengkulu.
Masuknya Islam di Tanah Rejang
Masalah sekitar kapan masuknya Islam di Kabupaten Rejang, data yang diperoleh masih sangat terbatas. Tahun 1992 IAIN Raden Fatah Curup melaksanakan seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam di Rejang Lebong” Pada tahun 2007, Balai Pelestarian dan kajian Nilai Tradisional Padang juga mengadakan Seminar Sejarah, dengan salah satu topik bahasannya adalah “Masuk dan dan Berkembangnya Islam di Tanah Rejang, sebagai Penduduk tertua di Sumatera.
Pada tahun 2004, Badrul Munir Hamidy menulis Buku Masuk dan Berkembangnya Islam di daerah Bengkulu yang diterbitkan dalam rangka STQN XVII di Bengkulu. Badrul Munir Menyebutkan bahwa Islam masuk di Bengkulu sejak abad ke-15 melalui lima pintu : (1) Melalui Kerajaan Sungai Serut yang dibawa oleh Ulama asal Aceh bernama Tengku Malin Muhidin; (2) Melalui perkawinan Sultan Muzafar Syah ( Raja Indrapura) dengan Puteri serindang Bulan, maka sejak itulah Islam masuk ke Tanah Rejang; (3) Melalui hubungan antar kerajaan Sungai Lemau dengan kerajaan Pagar Ruyung (Minangkabau) Diceritakan bahwa utusan Pagar Ruyung yang telah memeluk agama Islam , Bagindo Maha Raja Sakti , menjadi pemimpin Kerajaan Sungai Lemau pada abad XVII; (4) Melalui Kerajaan Selebar dengan kerajaan Banten; (5) Melalui hubungan antara kerajaan Anak Sungai dengan Kerajaan Indrapura.
Kerajaan Anak Sungai semula merupakan wilayah rantau Kerajaan Minangkabau, kemudian menjadi kerajaan Indrapura Tahun 1728 M, Merah Bangun dilantik menjadi Raja Muko-Muko.
Dari kelima Pintu Islamisasi di atas, yang langsung bersinggungan dengan masyarakat Rejang tentunya adalah pintu kedua, yaitu melalui perkawinan Sultan Indrapura Mudzaffar Syah dengan puteri Serindang Bulan, adik Karang Nio yang setelah Islam bergelar Sultan Abdullah.
Namun kesimpulan ini juga masih mengundang pertanyaan, baik menyangkut Karang Nio-nya maupun Sultan Mudzafar Syah-nya. Karena dalam Kerajaan Malaya Malaka dikenal juga Sultan Muzaffar Syah yang memerintah tahun 1445-1458. Apakah asal Mudzafar Syah dari Indrapura itu Persisnya dari Riau atau Malaka.
Akan ada pandangan lain yakni bahwa Islam masuk ke Anak Suku Rejang melalui Palembang, karena Ibu dari Puteri Serindang Bulan adalah Sirdaraya berasal dari Kesultanan Palembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sirdaraya yang berasal dari Kesultanan Palembang sudah beragama Islam, Islam sudah masuk ke Suku Rejang dari Kesultanan Palembang lewat perkawinan Raja Mawang dengan Sirdalaya bukan dari Kerajaan Pagaruyung lewat perkawinan Tuan Setio Barat dengan Putri Serindang Bulan; anak Sirdaraya. Pendapat ini bertambah kuat dengan keterangan bahwa Sultan Indrapura dalam Kerajaan Malaya Malaka dikenal juga Sultan Muzaffar Syah memerintah tahun 1445-1458. Artinya pada waktu itu Putri Serindang Bulan belum lahir ke dunia.
Jadi dapat dikatakan bahwa maka sejak itulah Islam masuk ke Anak Suku Rejang kurang lebih pada akhir Abad ke XIV M. Dan jika dikaitkan dengan teori masuknya Islam ke Indonesia maka yang sesuai dengan dengan masuknya Islam di Suku Rejang adalah teori sufi, karena memang Kesultanan Palembang dan Kesultanan Pagaruyung kental dengan sisi sufistik dalam kehidupan beragamanya.
Dan juga bisa disimpulkan bahwa Suku Rejang yang berada di pesisir menerima Islam dari Kerajaan Pagaruyung sedangkan yang berada di balik Bukit Barisan menerima Islam dari Kesultanan Palembang.
Jadi dapat dikatakan bahwa maka sejak itulah Islam masuk ke Anak Suku Rejang kurang lebih pada akhir Abad ke XIV M. Dan jika dikaitkan dengan teori masuknya Islam ke Indonesia maka yang sesuai dengan dengan masuknya Islam di Suku Rejang adalah teori sufi, karena memang Kesultanan Palembang dan Kesultanan Pagaruyung kental dengan sisi sufistik dalam kehidupan beragamanya. Dan juga bisa disimpulkan bahwa Suku Rejang yang berada di pesisir menerima Islam dari Kerajaan Pagaruyung sedangkan yang berada di balik Bukit Barisan menerima Islam dari Kesultanan Palembang.
Adapun jika Islam menyebar di Rejang lewat Palembang maka paling tidak ada empat argument;
Pertama, surat Residen Palembang nomor 5 tahun 1839 M tentang pengangkatan Arif sebagai pasirah Bermani Ulu. Surat tersebut ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab, bahasa Belanda ditulis dengan aksara latin. Jadi, jika tulisan Arab Melayu sudah digunakan maka dapat dikatakan bahwa pesirah dan orang-orang di wilayah Rejang Lebong sudah ada yang mampu membaca dan mengerti isi surat tersebut.
Kedua, Isteri Raja Mawang keturunan Bikau Sepanjang Jiwo di Tubei memperisteri Sirdaraya yang berasal dari Kesultanan Palembang, jadi dapat diperkirakan bahwa Sirdaraya telah memeluk Islam, jika Sirdalaya dan Raja Mawang serta keturunannya saja sudah memeluk Islam maka mereka yang berada di Rejangpun seyogyanya sudah memeluk Islam juga sebab perjalanan Sirdaraya dari Palembang ke Lebong sudah tentu lewat daerah Rejang Lebong.
Ketiga, pasar Muara Aman timbul pada tahun 1897 dengan Datuk pertama seorang yang berasal dari Palembang bernama Nang Cik. Ketika beliau naik haji, sebagai penggantinya dipilih-lah seseorang yang berasal dari Bengkulu bernama Merah Ganti. Nah, artinya Nang Cik adalah seorang muslim.
Keempat, diketahui secara turun temurun bahwa Kiyai Abdul Rahman Delamat adalah penyebar Islam yang gigih untuk daerah-daerah uluan seperti Musi Banyu Asin, Musi Rawas, Curup dan Kepahiang. Diceritakan pula desa tempat Kiyai Abdul Rahman Delamat berdakwah di antaranya Kesambe, Daspetah, Keban Agung, Ujan Mas dan Tebat Monok.
Tentang Telah Masuk nya ajaran Islam telah ditemukan surat Residen Palembang nomor 5 tentang pengangkatan Arif sebagai pasirah Bermani Ulu dengan gelar Depati Tiang Alam. Surat tersebut ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab, bahasa Belanda ditulis dengan aksara latin. Surat pengangkatan tersebut tertanggal 15 Pebruari 1889.
Bila tulisan Arab Melayu (aksara Arab bahasa Melayu) dapat diinterpretasikan sebagai budaya Islam di Indonsesia, kemudian diproyeksikan pula bahwa pemegang surat (Depati Tiang Alam dan Rakadi) berikut dengan rakyat yang dipimpinnya telah mampu membaca (mengerti) perihal surat dimaksud, maka diperkirakan bahwa Islam telah dipeluk Suku Rejang “pegunungan” pada awal tahun 1880 an atau lebih awal lagi.
Hal ini terbukti dengan pernyataan Abdulah Sidik ketika menjelaskan pengertian pasar mengatakan bahwa pasar Muara Aman timbul pada tahun 1897 dengan Datuk pertama seorang yang berasal dari Palembang bernama Nang Cik.
Ketika beliau naik haji, sebagai penggantinya dipilih-lah seseorang yang berasal dari Bengkulu bernama Merah Ganti. Karena telah memeluk Islam, Merah ganti inilah yang kemudian memberikan wakaf sebidang tanah untuk pembangunan masjid di Muara Aman.
Dari daerah Kepala Curup Rejang Lebong juga diperoleh informasi lisan, antara lain dari Atok (60 th) yang mengatakan bahwa orang yang pertama-tama mengajarkan Islam di Kepala Curup adalah Kiyai Delama yang berasal dari Muaro Ogan.
Informasi ini sejalan dengan Penelitian Zulkifli dalam karyanya, Ulama-Ulama Sumatera Selatan pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah, yang menyatakan; Tercatatlah bahwa Kiyai Delamat Menjadi Penyebar Islam yang gigih dan ulet untuk daerah-daerah uluan seperti Musi Banyu Asin, Musi Rawas, Muara Enim dan Curup.
Ahmad Taher (64 th) mengatakan bahwa di desa Lubuk Belimbing, agama Islam di kembangkan oleh Kiyai Abdurrahman dari Palembang, kemudian H. Kader (83 th) mengatakan bahwa menurut cerita-cerita orang tua, yang mula-mula membawa Islam di Tebat Monok adalah Abdullamad bersama tiga orang temannya berasal dari Muaro Ogan. Disampaikan pula bahwa selain di Tebat Monok, Abdullamad pernah juga mengajar agama Islam di Kesambe, Daspetah, Keban Agung, dan daerah Ujan Mas.
Tokoh yang disebut sebagai pembawa Islam pertama di beberapa daerah seperti yang dipaparkan di atas, setelah dihubungkan dengan mubaligh-mubaligh Islam dari Palembang yang menyiarkan Islam sampai ke pedalaman-pedalaman sesungguhnya adalah tokoh sama, yakni Haji Abdurrahman Delamat. Beliau ini adalah penerus usaha yang dirintis oleh Kyai Haji Abdul Hamid Marogan yang hidup antara tahun 1825-1890.
Menurut DJamaan Nur, Kebudayaan Melayu Bengkulu, memiliki ruh yang sama dengan Kebudayaan Melayu Luar Bengkulu. Karena konsepsi adat istiadat Melayu “ Adat Bersendikan Syara’ Syara’ Bersendikan Kitabullah” bisa dipastikan menjadi titik pembuhul kebudayaan Melayu pada umumnya.
Begitu juga di Rejang Lebong. Dalam konteks ini, Islam telah memberi warna dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tampak pada aspek bahasa, kesenian, upacara dan tata laku, serta upacara Daur hidup (life cyrcle) yang terdiri atas upacara waktu lahir, masa remaja, kematian, serta kesenian, seperti Syarafal Anam, Hadrah, Beladiri dan arsitektur Masjid.
Ungkapan Adat Bersendikan Syara’ Syara’ Bersendikan Kitabullah mengingatkan orang akan model akulturasi Islam dan budaya lokal Ranah Minang. Hal ini tentu memiliki latar belakang yang jauh secara sejarah dan dalam secara budaya, hubungan masyarakat Rejang dengan orang-orang Minangkabau dapat di telusuri dalam peristiwa-peristiwa berikut:
Orang Rejang sebagai etnik tertua dan terbenyak populasinya telah menerima Bhiku-bhiku dari Pagar Ruyung, yaitu Bhiku Sepanjang Jiwo, bhiku Bembo, Bhiku Bejenggo, Bhiku Bermano sebagai pemimpin-pemimpin Ketuai Empat Petulai, ini terjadi pada masa perkembangannya kerajaan hindu majapahit;
Baik dalam Tambo Minang maupun Tambo Bengkulu, daerah Rejang di kenal sebagai “Ranah Saklawi” Saklawi berasal dari kata se-yang berarti satu dan Kalawi yang berarti saudara perempuan /Ibu. Dalam pola materinial kata Seklawi ini menunjukkan hubungan persaudaraan Ibu yang dekat.
Orang-orang Minang secara demografi masih banyak di propinsi Bengkulu dan juga di Rejang Lebong baik yang tinggal secara turun temurun maupun baru merantau.
Selanjutnya gerakan dakwah dan penyebaran Islam terus berkembang hingga ke pelosok kampung. Pada fase berikutnya muncul dan berkembanglah organisasi-organisasi Islam nasional seperti Perti, Muhammadiyyah dan NU di Rejang. Bukan hanya itu anak Suku Rejang pun mulai sekolah ke pesantren dan pulang menjadi da’i dan guru serta pemuka agama.
Bahkan sebagian anak suku Rejang menikah dengan anak suku lain yang mahir di bidang agama yang kemudian menetap di kemunitas suku Rejang sebagai orang yang mempertahankan nilai-nilai Islam. Keadaan terakhir inilah yang bertahan hingga sekarang.
Adapun perkembangan Islam di Rejang Lebong, secara lebih terorganisir terjadi pada Abad 20 dengan semakin banyaknya Mubaligh/Da’i yang datang ke Tanah Rejang, Mereka yang berasal dari daerah Minangkabu membawa faham Muhammadiyah dan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) tahun 1930, dan Mubaligh/Da’i yang berasal dari Palembang membawa ajaran NU, (Nahdlatul Ulama) sementara para Da’i dari Jawa membawa Spirit Serikat dagang Islam dalam PSII.
Mereka mulanya ke Lebong kemudian ke Curup yang menjadi kota perlintasan dagang setelah dibukanya Jalur Rel Kereta api di Lubuk Linggau oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dimasa Penyiaran Islam, Kelompok-kelompok tarekat di Bengkulu dan Rejang Lebong cukup banyak yang berasal dan mempunyai silsilah keguruan dengan Syekh-syekh tarekat di Sumatera Barat. Tokoh-tokoh kelompok Islam tradisional, terutama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Di Bengkulu dan Rejang berguru Ke Candung Sumatera Barat, sementara tokoh-tokoh kelompok modernis berguru ke Padang Panjang. Pola belajar seperti ini diduga masih berlangsung sampai sekarang.
Gerakan-gerakan ini, ibarat "minyak tumpah di kertas", masuk ke Rejang Lebong yang pada umumnya mulai masuk sekitar tahun 1928-1934. Organisasi-organisasi masa umat Islam ini bergerak dalam lapangan pendidikan formal mendirikan Perguruan Pendidikan Al-Ikhsan (PPA), Madrasah Muhammadiyah di Curup, Muara Aman, kepahiang, dan Madrasah PERTI di Curup dan sampai ke dusun-dusun pedalaman.
Di samping, melalui pendidikan formal juga melalui dakwah dan pengajian-pengajian yang kemudian murid-muridnya menyebar melanjutkan ke Padang, Jaho, Betawi dan Solo.
Sekembalinya putera-putera daerah Rejang Lebong ini dan di tambah dengan kedatangan guru-guru yang didatangkan oleh organisasi Islam seperti yang dikemukakan di atas, menyempurnakan dan menghilangkan ajaran-ajaran animisme, sehingga mayoritas orang Rejang adalah penganut agama Islam hingga sekarang.
Interaksi dan Akulturasi Islam pada Budaya Rejang
Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.
Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya.
Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.
Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu.
Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim.
Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim.
Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah.
Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat
Kerangka konseptualisasi yang digunakan secara metodologis dalam melihat hubungan Islam dengan budaya lokal adalah adanya konsep Islam Idealitas dan Islam Realitas.
Islam idealitas merupakan Islam permanen yang bersumber dari wahyu dan sunnah yang memiliki kebenaran mutlak yang secara teologis harus diakui dan diyakini sepenuhnya.
Sedangkan agama Islam Realitas sosial tidak hanya dilihat sebagai fenomena teologis yang berisi muatan-muatan doktrin yang datang dari wahyu berupa ajaran-ajaran yang memiliki kebenaran mutlak.
Tetapi agama Islam juga bisa dilihat dari fenomena sosial budaya yang membentuk kebudayaan yang merupakan refleksi dan implementasi kesadaran telogis.
Agama sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial merupakan ajaran atau doktrin pada ranah sakral dikonfirmasikan dengan wahyu.
Sedangkan agama Islam Realitas sosial tidak hanya dilihat sebagai fenomena teologis yang berisi muatan-muatan doktrin yang datang dari wahyu berupa ajaran-ajaran yang memiliki kebenaran mutlak.
Tetapi agama Islam juga bisa dilihat dari fenomena sosial budaya yang membentuk kebudayaan yang merupakan refleksi dan implementasi kesadaran telogis. Agama sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial merupakan ajaran atau doktrin pada ranah sakral dikonfirmasikan dengan wahyu
Pembaruan antara Islam yang bersifat Universal dengan budaya yang bersifat realitas, melahirkan akulturasi kebudayaan yang khas Islam, Akulturasi meliputi berbagai perubahan dalam kebudayaan yang disebabkan adanya pengaruh kenudayaan lain, akhirnya melahirkan makin banyaknya persamaan pada kebudayaan itu.
Pengaruh tersebut berlaku timbal balik lebih kuat pada satu pihak saja. Berhadapan dengan realitas di mana ajaran Islam telah merembes mewarnai hampir seluruh tatanan kehidupan sebahagian besar masyarakat Rejang sampai saat ini, mulai dari norma nilai, sikap, perilaku dan adat istiadat, walau dalam bentuk pemahaman yang graduatif dan dengan bentuk pengalaman yang variatif, sungguh merupakan suatu realitas yang sangat menarik untuk dikaji.
Realitas tersebut lebih menarik lagi jika dihubungkan dengan sejarah tentang ketinggian budaya suku bangsa Rejang Lebong masa lalu. Dengan ketinggian itu William Marsden berani menempatkan suku bangsa Rejang sebagai standar pembahasannya mengenai penduduk Sumatera.
Islamisasi di wilayah Rejang sebagai aplikasi nilai-nilai Islam dihadapkan kepada kondisi yang ada, yaitu nilai-nilai budaya setempat. Dalam pembahasan ini akan digunakan pendekatan konsep seperti yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb bahwa "Islam bukan hanya suatu sistem teologi, tetapi juga meliputi bentuk sistem peradaban yang lengkap".
Seperti telah dikemukakan bahwa perkembangan Islam di Rejang sama dengan wilayah lain di wilayah Nusantara, sejak masuk hingga sekarang telah melalui perjalanan panjang. Di awal kedatangannya, Islam sudah dihadapkan kepada kondisi dan prikehidupan masyarakat yang telah memiliki sistem adat dan budaya sendiri, terutama Hindu dan Budha. Kemudian secara berangsur-angsur, Islam dapat merubah kedudukan sistem adat istiadat dan kebudayaan setempat.
Latar belakang sejarah ini setidak-tidaknya menunjukkan kemungkinan terjadinya akulturasi kebudayaan Rejang dengan Islam. Dan kenyataan yang demikian tak mungkin dapat dihindarkan, antara lain karena:
Bahwa sewaktu agama Islam disebarkan di Rejang, penduduk Rejang sudah terlebih dahulu mempunyai adat istiadat dan kebudayaan sendiri serta telah menganut dan menerima kepercayaan lain; dan
Bahwa agama Islam itu sendiri datang bergelombang dengan nuansa yang berbeda antara gelombang yang satu dengan yang lainnya Selain itu pengaruh penjajahan, paling tidak juga ikut mempengaruhi semakin kuatnya asimilasi budaya setempat dengan Islam, karena dorongan teologi Islam yang tidak menginginkan adanya penindasan dan penjajahan terhadap umat manusia.
Fakta sejarah ini memberi informasi bahwa, Islam di Rejang telah terumus dalam formula keberagaman kebudayaan yang bersumber dari tradisi masyarakat pribumi dan pengaruh peradaban modern. Semua unsur-unsur tersebut, tanpa menyebutkan takarannya masing-masing, paling tidak ikut mempengaruhi corak ke-Islaman di Rejang.
Maka keberagaman yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Islam di Rejang, agaknya tak terbantahkan sebagai bagian dari kenyataan sejarah. Karenanya keberagaman yang ada, sebagai hasil akulturasi kebudayaan, setidak-tidaknya harus diterima sebagai khasanah kebudayaan Islam di Rejang.
Dan dengan cara inilah, masyarakat Islam di Rejang memanfaatkan keberagaman yang dimiliki bagi usaha meningkatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Membangun diri tanpa harus merombak total sistem adat istiadat yang ada, dan menerima kenyataan tersebut sebagai suatu proses sejarah yang harus dan mesti terjadi.
Bahkan Islam memanfaatkan keberagaman itu untuk meningkatkan perikehidupan, mematuhi misi ajaran Islam untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup di dunia dan menyongsong pencapaian keselamatan kehidupan di akhirat.
Bukti-bukti sejarah pengembangan Islam di Rejang, menunjukkan bahwa keberagaman kebudayaan dan perikehidupan masyarakat Islam di Rejang mempunyai hubungan timbal balik.
Selain menjadi kenyataan sejarah yang harus diterima, keberagaman ini juga sekaligus menunjukkan bahwa tingkat fleksibelitas dari ajaran Islam dan para penyiar agama itu sendiri.
Dalam bentuk upacara adat, misalnya tradisi Cuci Kampung yang berlaku meluas diseluruh Bengkulu untuk membersihkan kampung dari maksiat (cempala), misalnnya perzinahan, pembunuhan, perkosaan, dan perbuatan buruk lainya.
Di Rejang misalnya, tradisi ini masih dilakukan setahun sekali sampai sekarang dalam bentuk tiga prosesi, yaitu Empuk Sadie (Cuci Kampung), Blangea Agung (penyucian diri), dan Tamabes Sadie (pengembalian desa seperti sedia kala).
Dalam tradisi ini dilakukan upacara-upacara adat dan berdoa kepada Allah. Sebagian masyarakat menyebut aturan ini berdasarkan undang-undang Simbur Cahaya, artinya jika dikaitkan dengan kitab Simbur Cahaya dari kesultanan Palembang, masa Ratu Simehun (1639-1650), bahwa substansi dari kegiatan cuci kampung adalah Islam.
Kegiatan-kegiatan ritual seperti Sedekah Bumi, Atau Cuci Kampung,Tepung Setawar Perayaan hari-hari besar Islam dan beberapa bentuk upacara bimbang telah menjadi adat-istiadat suku Rejang yang bernuansa Islam.
Sehingga hubungan antara agama dan budaya menjadi sulit untuk dipisahkan. Hubungan adat yang sejalan dengan syariat dianggap telah mewakili cara pandang Islam tradisional.
Sikap ini menunjukkan agama bagi suku Rejang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman terhadap ekpresi budaya lokal atas keyajinan Islam dengan melibatkan budaya Rejang dalam totalitas Tradisi keislamannya, menempatkan budaya Islam sebagai refleksi nilai Islam yang diaktualisasikan dalam berbagai aspek kultural manusia.
Sumber Pustaka;
*Mabrursyah Dosen IAIN Curup dalam Penelitian Tahun 2016 “ Islam dan Budaya Lokal Integrasi HukumIslam dan Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong”
*Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja Rosdakarya;2002
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H