Tak ada lagi suara kodok yang bersahutan. Bunyian Jangkrik ketika menjelang malam. Siulan burung-burung di pagi hari. Hanya deru mesin berdesing memenuhi atmosfir yang berisik digendang telinga.
Tak ada lagi hamparan permandani hijau berganti warna kuning kecoklatan hitam terbakar. Ditumbuhi aspal, beton, gedung-gedung pencakar langit.
Tak ada lagi hidung merasakan segarnya serbuk oksigen dari pepohonan liar dan dedaunan hijau. Hanya asap hitam cerobong pipa dan knalpot kuda besi  yang mengepul didepan mata.Â
Tak ada lagi celoteh, canda tawa di kedai kopi sambil menyantap gorengan pak fulan. Tak ada lagi gulai gudeg buk ijah tika lapar, nasi tak berlauk.Â
Tak ada penari Jepong berlenggok tika sang penari erotis tebarkan pesona. Tak ada lagi suara merdu seniman lokal tika ritme global lebih mengairahkan syawat.
Tak ada lagi cium tangan, tegur sapa, salam hormat  pada pahlawan tanpa tanda jasa dan kakak tertua.
Tak ada lagi, tak ada lagi, berlahan semuanya tlah terjadi. Dan tak ada lagi!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H