Jakarta -Â Sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (MoU) antara MPR RI dan DPP LDII yang ditandatangani pada September lalu, DPP LDII menyelenggarakan Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) Seri I bekerja sama dengan MPR RI. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid pada Sabtu, 23 November, bertempat di Gedung DPP LDII, Jakarta.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko, yang hadir mewakili Wakil Ketua MPR RI, Kahar Muzakir menyampaikan, program SVK yang diinisiasi DPP LDII sangat relevan dalam membangun semangat kebangsaan di tengah keberagaman bangsa Indonesia. Hal ini penting, mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan kondisi geografis.
Menurut Singgih, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki rasa cinta terhadap tanah air, pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila, serta penghargaan terhadap keberagaman.
"Era digital membawa dampak signifikan terhadap nilai-nilai kebangsaan, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan teknologi digital juga membuka peluang masuknya ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti radikalisme dan liberalisme, "Bahaya radikalisme dan liberalisme yang dapat menyusup melalui perangkat digital tanpa kontrol yang memadai," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya literasi wawasan kebangsaan sebagai solusi untuk menangkal ideologi-ideologi yang berpotensi merusak generasi muda dan lingkungan keluarga, "Kesadaran akan pentingnya mempelajari nilai-nilai luhur Pancasila dan jati diri bangsa merupakan langkah awal yang harus dilakukan," lanjutnya.
Singgih memberikan apresiasi atas pelaksanaan SVK oleh DPP LDII. Ia berharap program ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam mengenai empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, serta menginspirasi masyarakat, terutama generasi muda, untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Ketua Umum DPP LDII, KH. Chriswanto Santoso, menyoroti tantangan besar yang dihadapi nasionalisme Indonesia sejak akhir abad ke-20 hingga saat ini.
"Proses globalisasi dan ekspansi neoliberalisme, atau yang dikenal sebagai pasar bebas, telah melemahkan kekuatan negara-bangsa," ujarnya. Menurutnya, negara yang kuat diperlukan untuk melindungi rakyatnya dan menjaga stabilitas nasional.
Ia juga menyebutkan dinamika internal bangsa, seperti ketimpangan kesejahteraan dan keadilan, dapat memicu potensi konflik etnik dalam masyarakat yang majemuk.