Mohon tunggu...
Muklisin Said
Muklisin Said Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa yang kritis

Berfikir dan zikir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Matinya Demokrasi

14 April 2022   02:19 Diperbarui: 14 April 2022   02:21 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEMUNDURAN DEMOKRASI, Istri Mao Zedhong pernah berucap bahwa "Kekuasaan lebih nikmat daripada seks". Sebagaimana dalam seks dimana terdapat hasrat "tuk merengkuh dan mengusai tubuh pihak lain", begitupula pada kekuasaan. Jika pada aktivitas seks, tubuh yang ingin direngkuh dan dikuasai hanyalah tubuh (termasuk pikiran di dalamnya) partner seks, dalam momen tertentu dan di ruang yang privat. Maka dengan kekuasaan kita bisa menguasai tubuh banyak orang sekaligus, secara terus-menerus, baik di ruang privat maupun ruang publik.

Maka tak heran jika kekuasaan bisa membuat orang menjadi "kecanduan" hingga "sakau", siapapun yang telah menggenggamnya akan berupaya tuk tidak melepaskannya, berbuat apa saja untuk mempertahankannya, dan jika lepas akan mencoba segala cara untuk merebutnya Kembali. Maka ada benarnya kata Tullock penulis buku "The Politics Bereucracy, the Calculus of Consent: Logical Foundation of a Constitutional Democracy", bahwa para politisi akan mengikrarkan janji secara berlebihan hanya demi mendapatkan kekuasaan, dan "janji yang diucapkan secara berlebihan" sama artinya dengan "janji yang sedari awal diniatkan untuk diingkari".

Dan sistem politik yang demokratis pun rentan akan hal ini. Demokrasi dengan segala prosedurnya rentan untuk menghasilkan aktor-aktor yang justru mengkhianati nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Menurut Allen Hicken di buku "Demokrasi di Indonesia; dari Stagnasi ke Regresi" (2021), bahwa saat ini kudeta dengan "mobil lapis baja" terhadap demokrasi sudah sangat jarang terjadi, walaupun masih ada beberapa negara yang mengalaminya (seperti Thailand) tapi itupun didasari oleh janji pihak militer untuk memulihkan demokrasi dalam jangka panjang (walaupun ini seringkali hanya janji dan dikenal dengan istilah "promissory coups" alias kudeta berbasis janji).

Allen Hicken menuliskan bahwa saat ini sebuah negara demokrasi paling mungkin dibajak oleh para pemimpin politik (baik eksekutif ataupun legislatif) yang terpilih melalui prosedur demokrasi. Allen Hicken menyebutkan istilah "autogolpes" yakni dimana pihak eksekutif yang terpilih melalui pemilihan umum "mengkudeta diri sendiri" (yang berarti mengkudeta demokrasi itu sendiri) melalui penundaan pemilihan umum berikutnya, dan ini dilakukan agar rezim yang berkuasa mampu mempertahankan kontrol akan kekuasaan, sekaligus mengulur waktu agar bisa mengumpulkan sumber daya untuk memenangkan pemilu berikutnya.

Selain "autogolpes", Allen Hicken dengan mengutip Bormeo (2016) dan Svolik (2019) menyebutkan bahwa cara lain untuk membajak demokrasi adalah melalui apa yang disebut dengan "executive aggrandisement" (penggelembungan kekuasaan eksekutif) atau juga disebut dengan "executive takeover" (pengambilalihan oleh pihak eksekutif). Gejala ini adalah semacam upaya untuk menggerogoti demokrasi dari dalam.

Pada gejala "executive takeover", memang tidak terlihat adanya upaya untuk menghapuskan konstitusi (walaupun berupaya merubah konstitusi agar sesuai dengan agenda politik kelompok tertentu) dan tidak menutup parlemen, justru para pelakunya mengklaim bahwa apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai mandat dan batasan konstitusi.

Dalam gejala ini menu perubahan yang seringkali diajukan adalah perubahan kelembagaan yang didesain untuk melemahkan pengawasan terhadap kekuasaan lembaga eksekutif (ini bisa terlihat dari revisi terhadap UU KPK), merubah batasan periode kekuasaan (term limits), pelemahan kekuasaan kehakiman atau mengisinya dengan para loyalis, kooptasi badan legislative dan penguatan kekuasaan lembaga eksekutif untuk dapat bertindak secara sepihak. Dan dalam waktu bersamaan ada upaya untuk melemahkan oposisi dalam melakukan kritik terhadap kekuasaan. Menurut Svolik, 70-90 persen kejatuhan demokrasi pada tahun 2000-an disebabkan oleh "executive takeover".

Allen Hicken juga mengingatkan kita, bahwa ke depan di dalam negara-negara demokratis, kecurangan pemilu yang mencolok tak lagi menjadi menu utama bagi yang ingin membajak demokrasi.

Yang akan sering terjadi adalah upaya-upaya untuk memanipulasi lingkungan elektoral (contohnya seperti memastikan kandidat oposisi tidak berhasil ikut pemilihan, memanipulasi proses registrasi pemilih, mengendalikan para penyelenggara pemilu, hingga membengkokkan aturan pemilu agar menguntungkan petahana). Dan biasanya upaya ini beriringan dengan menyerang kebebasan berekspresi, pelecehan terhadap oposisi, membatasi media hingga mengerahkan sumber-sumber daya pemerintah bagi tujuan-tujuan partisan.

Mungkin penting untuk mengulik Kembali metafora  Calude Lefort akan demokrasi sebagai "ruang kosong" seperti yang dia tuliskan di bukunya yang berjudul "Democracy and Political Theory" (1988).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun