Di bulan-bulan mendekati pemilihan umum suasana terasa semakin memanas. Di setiap sudut kota, dari warung kopi hingga kantor, orang-orang dari berbagai kalangan tak henti-hentinya berbicara tentang politik. Diskusi-diskusi sengit memenuhi ruang publik, di mana setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda terkait calon-calon yang akan bertarung dalam pemilihan.
Massa media menjadi salah satu panggung utama di mana pertarungan ide dan opini berlangsung. Berbagai saluran televisi, radio, dan portal berita online menjadi sumber informasi dan wadah bagi analisis politik dari berbagai tokoh dan pakar. Tak hanya itu, media sosial juga memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik. Berbagai konten, baik berupa meme, video, atau tulisan panjang, tersebar luas dan telah memicu ketegangan di kalangan netizen.
Namun, tidak hanya di ranah resmi, perbincangan politik juga terjadi di ruang privat. Dalam keluarga, pertemanan, dan bahkan di tempat kerja, topik politik menjadi pembicaraan hangat dan terkadang memicu perbedaan pendapat. Tak jarang, suasana kekeluargaan terasa tegang karena perbedaan pandangan politik.
Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat untuk tetap menjaga sikap saling menghormati dan mendengarkan pandangan orang lain. Pemilihan adalah momentum demokrasi yang seharusnya memperkaya wawasan dan memperkuat persatuan, bukan sebaliknya. Meskipun menganggap politik mungkin memanas, keberagaman pendapat tersebut adalah cerminan kehidupan demokratis yang sehat. Â Keanekaragaman kultur seperti itu adalah salah satu kebesan tuhan.Â
Berdemokrasi sebenarnya justru ingin menghargai semua orang. Dalam berdemokrasi, urusan bersama diselesaikan secara bersama-sama. Adanya perbedaan pendapat adalah niscaya, tetapi perbedaan itu diselesaikan dengan cara mengikuti suara yang terbanyak. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden misalnya, siapapun yang dipilih oleh jumlah suara terbanyak itulah yang akan diangkat pada jabatan itu.
Manakala inti daripada berdemokrasi itu adalah ingin menghargai semua orang, maka akan menjadi kontraporoduktif dengan tujuan itu, manakala dalam proses-proses yang dilalui harus melewati saling pengertian, mencaci-maki, mengolok-olok, dan apalagi saling memfitnah. Kekerasan seharusnya tidak dikenal di dalam berdemokrasi. Siapa pun yang melakukannya akan membandingkan dengan konsep itu. Bicara demokrasi tapi masih menggunakan cara-cara kekerasan atau anarkhis, maka itu sebenarnya bukan berdemokrasi, melainkan otoriter dan atau tirani.
Berebut pengaruh di dalam berdemokrasi dibolehkan, tetapi seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang santun dan bukan saling memenuhi syarat. Mengunggulkan orang yang diidolakan tidak harus lewat cara memastikan pihak lain. Banyak cara simpatik untuk mempengaruhi orang. Belajar dari penjual kecap, semua perusahaan selalu mengklaim bahwa produknya sebagai nomor satu. Tetapi, masing-masing merek memiliki kelebihan yang berbeda, dan akhirnya pembeli akan memilih yang cocok dengan seleranya sendiri. Lidah memang berbeda-beda, semuanya tidak bisa dipaksakan.
Begitu pula pilihan terhadap calon pemimpin dalam sistem demokrasi, meskipun dijelek-jelekkan, seorang yang terlanjur diidolakan, tetap akan dipilih. Oleh karena itu, tidak perlulah pilihan orang lain dijelekkan, direndahkan, dan dicari-cari kekurangannya. Pilihan orang lain seharusnya dihormati. Itulah yang berdemokrasi, walaupun berbeda, tetap berusaha menghargai dan menghormati semua orang.
#penyuluhagamaislambergerak
#penyuluhagamaislamkulonprogo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H