Mohon tunggu...
muklisin purnomo
muklisin purnomo Mohon Tunggu... Guru - Guru Ngaji

Penggiat Literasi Dakwah di Kulon Progo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kultus Individu dalam Perspektif Akidah

13 Maret 2023   10:31 Diperbarui: 13 Maret 2023   10:41 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita temukan seseorang memberikan sanjungan dan pujian terhadap orang lain setinggi langit. Apapun yang dilakukan dan dikatakan oleh orang yang menjadi pujaannya dianggap sebagai sebuah kebenaran dan fakta yang terbantahkan, seolah mereka bak nabi yang maksum, dianggap sebagai pribadi suci yang dijaga oleh Allah sehingga tidak pernah berbuat salah. Berbagai cara dilakukan untuk melakukan propaganda dan menunjukkan kepada khalayak bahwa idola mereka merupakan proto type manusia paripurna yang layak menjadi seorang teladan ataupun memimpin.  Mereka menjadikannya sebagai panutan yang harus ditaati, dimuliakan, selalu dijaga, diagung-agungkan dan dijunjung tinggi, jika ada yang mencoba memberikan kritik, atau bahkan menghinanya maka akan dianggap sebagai musuh. 

Kultus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bentuk penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda.  Kultus individu (Cult of personality) dalam Bahasa Arab Ghuluw merupakan sikap melampaui batas (berlebihan) berdasar syari'at dalam memuji dan menyanjung, baik dengan perkataan maupun perbuatan.  Kultus individu adalah budaya yang menempatkan individu sebagai pusat dari segala-galanya. Para simpatisannya seringkali melakukan pengagungan atau penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang yang dianggapnya sebagai idola atau tokoh inspiratif oleh sekelompok orang atau masyarakat. Kultus ini biasanya terjadi pada orang-orang yang memiliki prestasi atau karya yang mengagumkan, kepribadian yang karismatik, atau ketenaran yang sangat tinggi. Biasanya, kultus terhadap figur ditandai dengan adanya pemujaan, pengabdian, dan kepatuhan yang berlebihan dari para pengikutnya terhadap tokoh tersebut. Kultus ini dapat menyebabkan pengikutnya menjadi fanatik dan mengabaikan nilai-nilai kehidupan yang lebih penting, seperti toleransi, kerjasama, dan persaudaraan.

Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai individu untuk tidak terlena dan terjebak dalam kultus terhadap figur tertentu. Sebagai gantinya, kita harus belajar menghargai dan menghormati kepribadian positif dari semua orang tanpa mengabaikan nilai-nilai kebenaran, toleransi, dan persatuan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kultus terhadap tokoh, di antaranya:

  • Karisma dan kepribadian tokoh yang kuat: Tokoh yang memiliki kekuatan karisma yang kuat dan kepribadian yang menarik sering menjadi sasaran penggemar fanatik yang mengagungkan mereka.
  • Prestasi atau pencapaian yang menonjol: Tokoh yang telah mencapai prestasi atau kesuksesan yang hebat dalam bidang tertentu, seperti olahraga, seni, politik, dan lain-lain, sering kali dianggap sebagai tokoh yang patut dipuja oleh para penggemarnya.
  • Daya tarik media dan sosial: Kultus terhadap tokoh dapat diperparah oleh dukungan media dan sosial yang dapat membantu dalam memperluas basis penggemar dan mendorong pengagungan mereka.
  • Adanya kebutuhan psikologis: Kultus terhadap tokoh juga bisa timbul karena adanya kebutuhan psikologis dari penggemarnya untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, serta untuk menemukan arti dan tujuan hidup.
  • Pengaruh kelompok dan budaya: Budaya populer atau kelompok tertentu dapat mempengaruhi penggemar untuk mengagumi dan mengidolakan seorang tokoh tertentu, sehingga terciptalah fenomena fanatisme berlebihan terhadap tokoh tersebut.

Rambu-Rambu Islam dalam Memberikan Penghormatan 

Memberikan penghormatan secara berlebihan kepada orang yang dikaguminya bisa berakibat fatal. Keadaan itu jika tidak diwasapadai akan mengarag perbuatan syirik. Dalam literatur Keislaman perbuatan syrik terjadi pada umat Nabi Nuh. Pada saat itu umat Nabi Nuh seringkali berlebih-lebih dalam memuliakan orang shalih. Diawali dari rasa kagum terhadap orang shalih yang masih hidup. Ketika pujaan mereka telah berpulang ke hadirat Allah mereka mengabadikannya dengan patung-patung sebagai penanda untuk mengenang jasa-jasa orang yang shalih yang menjadi panutannya. Seiring berjalannya waktu, patung-patung tersebut dipertuhankan oleh generasi-generasi berikutnya.

Memuliakan dan menghormati orang shalih, bukanlah perbuatan yang tercela, justru dianjurkakan oleh agama Islam. seseorang dihormati karena beberapa factor, misalnya karena kepintaranyya, jasa-jasanya, sebab keturunan, pemgaruh dan kekuasan yang dimilikinya, ataupun mungkin karena banyaknya kekayaan. Terhadap orang alim ataupun cendikiaman misalnya, nabi pernah menyampaikan pesan agar memuliakan orang alim karena dengan demikian berarti telah memuliakan Nabi, orang yang telah memulikan Nabi berarti telah memuilakan Allah, dan orang yang memuliakan Allah maka akan dapat balasan surga.

Seseorang memang dipernanankan memuliakan karena faktor keturunannya, hal ini bisa dilihat dari ungkapan Syaikh Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab al-Fushul al-'Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hikamiyyah yang menegaskan bahwa keturunan Nabi mempunyai kemulian tersendir, dan Nabi Muhammad selalu memberikan perhatian khusus kepada keluarganya. Ia juga mewanti-wanti kepada umatnya agar mencintai dan menyayangi ahlu bait. Yang menjadi problem bukan pada sikap seeseorang dalam memberikan penghormatan kepada orang yang dikaguminya, tapi lebih kepada sikap israf dan berlebihan   (ghuluww) dalam memperlakukan orang yang menjadi panutannya. Sikap israf dan ghuluw akan menjadikan seserang menganggap bahwa pujannya adalah orang suci yang tidak tersentuh dosa, paham inilah yang menjadikan didalam ajaran islam dilarang.

Lantas bagaimana seharusnya sikap yang harus dilakukan dalam memberikan penghormatan kepada orang lain agar tidak terjerumus dalam perbuatan syirik. Kita bisa belajar dari Sayyid Abdullah bin Alawi dalam memberikan penghormatan kepada ahlu bait. Ia berpesan agar dalam menunjukkan penghormatan dan kecintaan kepada ahlu bait lebih mengedepankan sikap moderat tidak berlebihan, hal ini disebabkan karena mereka juga manusia biasa yang tidak bisa luput dari perbuatan maksiat dan dosa.

Nabi memberikan larangan yang tegas kepada umatnya agar tidak larut dalam penghormatan yang berlebihan. Bahkan Nabi sendiri tidak ingin umat menganggapnya melebihi dari kapasitasnya sebagai hamba dan utusan Allah.

.

" janganlah kamu memiliki sikap tathawwur (berlebih-lebihan) dalam menyanjungku, sebagaimana orang Nasrani memperlakukan putra Maryam (Nabi Isa), saya hanyalah seorang hamba Allah dan utusannya. (HR. Bukhari).

Dengan ada sikap yang ditunjukan nabi tersebut sangat jelas, sebesar apapun besarnya pengaruh derajat dan pangkat seseorang tetap saja ia adalah seorang hamba. Seorang hamba tentu tidaklah bersih dari kesalahan. Jika orang yang kita hormati berbuat keliru, maka tidak ada salah memberikakan kritik secara konstruktif dan dengan menyampaikan pendapat secara jelas, sopan dan bermartabat. Penting untuk fokus pada hal-hal yang dapat diperbaiki dan memberikan solusi yang membangun, bukan mengecam atau mencaci maki. Menjaga rasa hormat dan menghargai pandangan orang lain adalah kunci penting dalam komunikasi yang efektif dan bermakna.

Mengkultuskan tokoh atau individu yang dikaguminya dalam bentuk ekstrem dapat berdampak negatif pada individu dan masyarakat, seperti mengabaikan nilai-nilai yang lebih penting, memicu fanatisme dan intoleransi, serta merusak hubungan sosial. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sikap moderat (tawassuth) dan proporsi dalam mengapresiasi dan menghormati figur yang diidolakan.

Seorang ulama, tokoh publik, atapu siapapun dia yang memiliki kharismatik memang layak dicintai dan dijadikan sebagai panutan karena memang meraka berhak untuk mendapatkan itu, sebagai efek dari ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Tetapi harus disertai dengan akal sehat bahwa mereka bukanlah manusia terjaga dari dosa dan noda. sebatas pada hal-hal yang baik dan tidak melanggar norma agama.

Kultus Individu dapat Merusak Akidah 

Sikap fanatisme terhadap figur yang mengarah apada pengkultusan indvidu dapat memiliki pengaruh negatif pada ajaran agama yang sebenarnya. Fanatisme dapat membuat orang menjadi buta terhadap kebenaran dan memaksa orang lain untuk menerima pandangan mereka sendiri. Ini dapat merusak hubungan antar sesama manusia dan bahkan mengarah pada konflik dan kekerasan. Tidak hanya itu jika tidak diwaspadi bisa meluruhkan akidah karena terjerumus pada perbuatan syirik.

Di atas sudah dijelaskan bahwa pengikut Nabi Nuh terjurumus pada sikap fanatisme buta terhadap orang-orang yang shalih dengan menjadikan pujaan sebagai patung-patung berhala.

"dan mereka (umat nabi Nuh) berseloroh:  "Janganlah pernah kamu sekalian meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penghambaan terhadap) Wadd, Suwa, Yagus, Ya'uq, dan Nasr." (QS. Nuh: 23).

Dalam kitab Fathul Majid, didapat penjelasan  Ibnu Abbas bahwa Yagus, Ya'uq, dan Nasr adalah nama-nama orang-orang salih yang dipuja kaum nabi Nuh yang diepertuhankan. Meskipun awalnya hanya sebagai bentuk apresia terhadap prestasi dan dan jasa-jasa mereka, namun mereka tidak mampun menghalau bisikan syetan agar menjadikan patung tersebut dijadikan sebagai tuhan yang harus disembah.

Sikap kultus individu terhadap figur yang diidolakan secara ekstrim  menjadikan seseorang memiliki sikap fanatisme buta yang tidak mau mengakui kebenaran orang lain kecuali dari figur yang dikaguminya. Meski, tidak jarang jarang idolanya melakukan sebuah kesalahan dia tetap setia mengikutinya.

Dalam ajaran Islam sikap tersebut merupakan Tindakan yang harus dijauhi. Allah secara tegas sudah menyatakan hal itu:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melewati batas dalam kamu beragama, dan janganlah kamu mengeluarkan sebuah perkataan kepada Allah kecuali kebenaran." (QS. An-Nisa: 171).

            Kecintaan kita pada seseorang tidaklah jangan sampai membutakan mata hati, dan menjadi tulinya pendengaran.  Terdadap aturan syariat yang harus diperhatikan. Pertama, rasa hormat dan cinta tidak boleh mengarah kepada pengkultusan individu. Kedua, benci atau suka paramaternya harus karena Tuhan, bukan berdasar persepsi masyarakat.

            Menuhankan sesuatu selain Allah termasuk di dalamnya kultus individu yang berlebihan adalah bukanlah kepribadian seorang mukmin yang memegang teguh nilai-nilai ketauhidan. Sikap tersebut menyebakan Manusia terjerambab ke jurang kenistaan karena menjadikan fitrah dan akal sehatnya melumpuh. Mereka telah mengebiri akal dan fitrahnya demi penuhanan dan pembudakan palsu terhadap individu yang diidolakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun