Pertengahan kelas XII SMA adalah masa-masa paling krisis untuk bisa menentukan pilihan setelah lulus sekolah. Semua tidak bisa diputuskan setelah acara kelulusan karena memang tahapnya akan tertinggal ketika dihadapkan oleh dua pilihan yaitu melanjutkan jenjang pendidikan tinggi atau menata karir. Semua anak SMA pasti merasakan hal yang sama ketika sudah menuju penghujung tahun terakhir sekolah. Masa-masa indah saat sekolah akan tergantikan dengan kehidupan yang sesungguhnya untuk mencari jati diri masing-masing. Masa depan seseorang akan terbentuk mulai saat itu.
Hal tersebut dirasakan juga oleh Viona. Ia adalah salah satu siswi di SMA Pelita Bangsa kelas XII yang sebentar lagi akan lulus. Viona merupakan gadis cantik dengan perawakan tinggi semampai dan berkulit kuning langsat. Ia masuk di jurusan IPA, meskipun begitu ia memiliki hobi suka menulis, entah itu quotes, puisi, bahkan cerpen. Untuk mendukung hobinya tersebut, ia mengikuti ekskul jurnalistik agar bisa menuangkan karyanya di blog milik sekolah.
Jam istirahat tiba, Viona keluar kelas langsung menuju kantin setelahnya ia duduk dibawah pohon rindang di taman sekolah. "Woe bengong aja lu", sontak Viona menoleh ke sumber suara. Di belakangnya sudah berdiri sosok laki-laki yang tak lain adalah Dito. Dito adalah teman sekelas Viona, salah satu temen cowok yang akrab dengannya selain sahabat ceweknya. "Enggak, lagi menikmati udara segar taman sekolah", jawab Viona diikuti dengan tawa renyah khasnya. "Ngapain sendirian disini? Biasanya lu udah ngerumpi tuh sama geng emak-emak lu", sambar Dito ngeledek. "Yeeeh lu juga, ngapain buntutin gua kemari? Ngapa gak ngumpul tuh sama tongkrongan duda lu?" Viona tak mau kalah. Akhirnya mereka berdua menghabiskan waktu istirahat dengan ngobrol berdua di taman sekolah.
Di tengah obrolan dua manusia tahun terakhir di SMA, mereka lebih banyak membicarakan tentang kelanjutannya setelah lulus. Sebenarnya Viona banyak mendapat masukan dari teman kelasnya untuk kuliah di jurusan hukum bareng Dito, karena mereka berdua memiliki karakter debat yang kuat ketika di kelas. Akan tetapi, Viona tidak pernah tertarik karena selain ia memang tidak ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ia juga merasa jurusan tersebut bukan passion-nya. Selain itu juga ia lebih suka menulis dibandingkan dengan menghafalkan undang-undang yang sebegitu banyaknya. Menurutnya itu akan menyita waktunya untuk mendapatkan inspirasi tulisan juga imajinasinya.
Drrrrtttt. Ponsel Viona sudah bergetar sejak 5 menit yang lalu. Si empunya masih asyik dengan buku diarynya di balkon dan ponselnya ia tinggal di kamar. Setelah selesai dengan kegiatannya, Viona kembali ke kamar. Ia memeriksa ponselnya. Tertulis tujuh panggilan tak terjawab dari kontak bernama 'ibu'. Viona segera menghubungkan ulang sambungan telepon kepada ibunya. Terdengar suara di seberang sana mengucapkan salam. "Lagi apa Vi?", "Lagi ini bu mau siap-siap pergi bimbel nanti jam 2", jawab Viona. "Oalah yaudah kalau gitu, cepetan ini udah mau jam 2", jawaban ibunya membuat Viona sedikit bingung. Kembali ia bertanya "Ibu tadi nelpon mau bicara apa?" "Nggak ada, ibu cuma pengen tanya kamu lagi ngapain disana". Tak lama kemudian setelah berbincang, ibu Viona memutus panggilan dan Viona segera mempersiapkan diri pergi bimbel masuk perguruan tinggi.
***
Malam menuju tidur Dito tiba-tiba teringat pada Viona, kemudian ia mengambil ponsel dan mengirimkan pesan singkat.
Dito : Vi kamu besok ada agenda ga? Jogging yuk?
Viona : Oke, aku tunggu depan asrama jam 05.30
Dito : Oke
"Waktu tinggal sehari lagi buat mutusin mau kuliah dimana? Ambil jurusan apa? Arrgghhhh", Viona merasa sangat frustasi dengan detik yang terus berputar, sedangkan pikirannya hanya bisa stuck. Sejak masuk SMA memang hasrat untuk kuliahnya sudah pupus. Dari awal ia ingin mengambil jurusan bahasa, namun dalam keluarganya terutama orang tuanya tidak mendukungnya dan memintanya untuk masuk ke jurusan IPA saja yang sesuai dengan kemampuan akademiknya. Akhirnya ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti orang tuanya dan pada saat itu belum terpikirkan dampak di masa sekarang ini. Sesungguhnya ia sangat menyesal, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Sekarang semua keputusan dan pilihan jatuh di tangannya. Penentuan masa depan yang lebih cerah tergantung pada pilihannya saat ini yang bisa mengentaskan dari penyesalan agar tidak menjadi berkepanjangan.