Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Persoalan-persoalan HIV dan AIDS di Papua

10 Mei 2011   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jika menilik laporan resmi yang dikeluarkan Ditjen PP dan PL Kemenkes RI per 31 Maret 2011, jumlah kasus HIV dan AIDS di Papua sebanyak 3721 kasua, masih jauh lebih rendah dibandingkan Jakarta dan Bali yang berada di atas 5000 kasus. Meskipun demikian jika dilihat dari prevalensi HIV dan AIDS per 100.000 penduduk, kasus di Papua menjadi jauh lebih tingga di atas Bali, 175.91 kasus dibandingkan dengan 49.16. Tetapi, manakala memperhatikan laporan-laporan di lapangan, jumlah sungguh sangat mengejutkan, karena diperkirakan kasus HIV dan AIDS sudah menembus angka 6.300 kasus. Tampaknya, angka ini menjadi lebih mendekati kenyataan, karena untuk kabupaten Mimika saja, sebagaimana dilaporkan sebuah media nasional, pada 31 Desember 2010, sudah mencapai angka 2.463 kasus dan di Kabupaten Jayapura mencapai angka 678 kasus. Artinya, dengan melihat kasus di Mimika dan Sentani saja jumlahnya sudah menembus angka 3000, bagaimana dengan kabupaten yang lain, seperti di Kota Jayapura  yang diperkirakan sudah mencapai angka 1.500 kasus pada akhir tahun 2010. Ketidakpastian data seperti ini memang menjadi sangat mengkhawatirkan, karena akan mempengaruhi pengambilan kebijakan bagi pemerintah sendiri dalam merencanakan program-program penanggulangan HIV dan AIDS di Papua. Terutama berakitan dengan penyediaan anggaran, sehingga sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Tetapi memang, buruknya sistem pencatatan data angka HIV ini bukan lagi merupakan rahasia lagi, bahkan selalu menjadi bahan diskusi yang tak pernah terselesaikan. Selain persoalan data yang tidak pasti, persoalan HIV dan AIDS di Papua, juga menyangkut soal komitmen pemerintah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Meski banyak lembaga dana yang memberikan kuncuran dana ke Papua, secara faktual tidak terlalu banyak mengubah persoalan dan menekan laju pertumbuhan virus. "Semuanya bergerak di wilayah kota. Nggak ada yang mau masuk ke daerah pegunungan," kata seorang aktivis HIV dan AIDS di Papua kepada Kompasianer. Dalam sebuah diskusi dengan tiga lembaga penanggulangan HIV dan AIDS di Papua, diungkapkan situasi faktual di Papua saat ini masih dalam tahap mengejar-kejar angka, mendorong orang untuk melakukan test, tetapi setelah terdiagnosis reaktif (positif) tidak tersedia layanan yang memadai. Kalau di antara mereka sudah harus mengkonsumsi ARV, mereka harus mengambil ke rumah sakit di Abepura Kota Jayapura. "Ini terlalu jauh dan tidak mungkin," kata seorang peserta diskusi. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih tahun 2010 juga menunjukkan hal yang senada. Setelah melakukan tes dan terdiagnosis, sedikit di antara mereka yang mengkonsumsi ARV. Sebagian besarnya mengobati sendiri dengan ramuan tradisional di dalam hutan. Belum lagi soal ratusan suku dan adat yang bertabaran di Papua. Masing-masing suku memiliki tata cara dan norma sendiri. Pandangan-pandangan dan nilai-nilai mengenai seksualitas akan sangat mempengaruhi bagaimana mereka merumuskan mengenai perilaku seks yang aman, terkait dengan HIV dan AIDS. "Dulu dalam acara pesta dansa di suatu suku, kita bisa bertukar pasangan sesukanya," kata seorang pengemudi yang mengantar perjalanan kompasianer ke Kabupaten Keroom. Kepercayaan terhadap ilmu hitam, di kalangan adat di Papua, juga menjadi bagian yang menghambat penyadaran mengenai HIV dan AIDS. Seorang pendeta di Kabupaten Keerom, misalnya, mengatakan masyarakat tidak percaya dengan HIV dan AIDS, mereka menganggap itu buatan orang. "Jadi kalau ada yang meninggal karena HIV, mereka menolak. Mereka akan mencari untuk menemukan siapa yang menyantet," katanya. Wilayah perbatasan dengan Papua New Gueni (PNG), diperkirakan juga menjadi bagian penting dari persoalan HIV dan AIDS. Para pekerja di PNG gajihnya lebih besar dibandingkan dengan mata uang rupiah, karena satu kina senilai dengan tiga ribu rupiah. Mereka menerima gaji dua minggu sekali, dan melewati perbatasan ke Indonesia untuk membeli seks. Meski sebelumnya cukup dengan menggunakan borderpass, dan sekarang sudah harus menggunakan passport, ketentuan administrasi ini hampir tidak berarti. "Mereka melalui jalan setapak, sehingga tidak menggunakan passport," kata aktivis HIV dan AIDS yang bekerja di wilayah Waris, salah satu distrik di Kabupaten Keerom. Pertanyaannya sekarang, menghadapi situasi ini, apakah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) masih tetap mengembangkan program dengan aksi informasi? Jika demikian, tak akan pernah agenda penanggulangan HIV dan AIDS bisa menyamai kecepatan virusnya. [www.liberationcorner.com]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun