Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjuangan Identitas: Pencarian dalam Rimba Raya Multikulturalisme

29 Mei 2010   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sangat pagi-pagi sekali, ketika di tahun 1986, PKBI sudah memberikan isyarat mengenai kemungkinan terjadinya kasus HIV di Indonesia. Peringatan yang dianggap aneh, dan bahkan Departemen Kesehatan RI pun menampik adanya kemungkinan yang dilontarkan itu. Kemampuan menjantra yang cukup apik ini, memang tidak saja dalam kasus HIV dan AIDS, ketika setahun kemudian, 1987 terdeteksi untuk pertama kalinya, satu kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Sejak awal didirikannya, PKBI sudah menempati posisi yang 'nganeh-anehi'. Bagaimana tidak, manakala hampir semua elemen bangsa ini tidak memikirkan soal tingginya angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan, para pendiri PKBI, 1957, sudah membicarakan dan memperjuangkannya dengan konteks 'keluarga berencana'. Agenda gerakan yang diorientasikan untuk menyelamatkan jiwa perempuan, yang diakibatkan oleh proses reproduksinya yang terberi, tetapi justru karena itu menjadi terabaikan dan tak terpikirkan.

Menyadari keselamatan jiwa perempuan harus menjadi tanggung jawab negara, di akhir tahun 70-an, PKBI mendesakkan gagasan perlindungan jiwa perempuan ini kepada negara. Usulan ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya Lembaga Keluarga Berencana (LKB) yang kemudian hari dikembangkan menjadi BKKBN. Sayangnya, warna operasionalnya menjadi bergeser jauh, karena KB dalam watak negara, justru menjadi alat kontrol 'pertumbuhan penduduk', dan perempuan yang kemudian menjadi tumbalnya. Sebuah pertentangan yang amat sangat biner, 'gerakan yang semula' dengan hasil advokasi--saya kira dulu tidak menggunakan terma ini--sehingga terlembagakannya gerakan KB di Indonesia.

Berbagai ritme pengembangan gagasan dan strategi dalam menjalankan programnya, memberikan banyak pengalaman dan pelajaran berharga bagi Perkumpulan. Manakala mempercayai adanya segmentasi aktivitas NGO yang bermula dari charity, community development dan advocay, Perkumpulan telah melakukannya, tersegmentasi maupun secara terpadu dalam nalar advokasi--maksudnya, tidak hanya pada kerja-kerja pengorganisasian pada level komunitas, tidak hanya kerja-kerja kampanye dengan instrumen media, dan tidak hanya melakukan kerja-kerja pada ranah kebijakan-kebijakan publik.

Apa yang Bisa Ditemukan?

Gerakan pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual, seringkali mengambil ruang yang sangat sempit, hanya sehat fisik yang bertalian dengan soal sistem, fungsi dan organ reproduksi. Pemahaman yang sempit ini, mengakibatkan perlindungan kesehatan reproduksi dan seksual, terperosok pada penempatan persoalan yang ada dalam ruang 'medis' semata-mata. Nalar ini, pada akhirnya menempatkan manusia sebagai obyek dari agenda-agenda perubahan sosial dan menempatkan problemnya pada diri manusia itu sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, PKBI juga terjebak dalam alur nalar yang demikian, dengan mengambil bentuk model services and education. Sebuah model gerakan yang disadari atau tidak disadari, sedang meletakkan berbagai persoalan yang dihadapi merupakan problem manusia itu sendiri. Ketika HIV tertransmisikan kepada seorang perempuan, misalnya, setidaknya dua hal yang langsung muncul dan dialamatkan kepadanya. Pertama, keterbatasan ekonomi untuk melakukan test dan perawatan kesehariannya, sehingga membutuhkan uluran tangan untuk memberikan bantuan. Kedua, keterbatasan informasi mengenai HIV dan AIDS, sehingga mereka membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya.

Model semacam ini--juga akibat dari cara pandang yang sama dalam segmentasi gerakan pemenuhan hak rakyat kebanyakan--melahirkan keterpisahan gerakan, walaupun sesungguhnya memiliki keterkaitan persoalan di sana-sini. Bahkan karena ketatnya pendisiplinan isu dalam gerakan masing-masing, meskipun yang menghadapi persoalan adalah perempuan, tetapi karena dirinya terkategorisasikan secara bermacam-macam, perempuan miskin, difabel, melahirkan anak, tinggal dijalan, menjadi sulit sekali mencari dukungan untuk dirinya dari berbagai lembaga yang ada. Masing-masing mengembangkan instrumen-instrumen spesifik untuk memberikan bantuannya.

Persoalannya menjadi tambah rumit, manakala konteksnya dikembangkan bagi kalangan pekerja seks, waria, gay dan lesbian. Dehumaniasi terjadi besar-besaran, peminggiran terus-menerus dilakukan dengan mengatasnamakan eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Perempuan yang dianggap sebagai makhluk 'kelas kedua' harus mengalami eksploitasi dalam berbagai aras hidupnya. Kelompok diffabel atas nama kesempurnaan manusia, pantas pula untuk dikesampingkan. Orientasi seksual sejenis, harus dilenyapkan karena eksistensi kemanusiaan yang sempurna dan benar adalah mereka yang berorientasi seksual berbeda jenis.

Apa yang Hendak Dilakukan?

Menyikapi temuan-temuan dalam pemenuhan hak reproduksi dan seksual ini, berbagai diskusi dilakukan secara intensif dengan melibatkan banyak pihak untuk bisa merumuskan nalar dan strategi yang lebih tepat. Rekomendasi yang dianggap sesuai dalam konteks gerakan pemenuhan hak reproduksi dan seksual kemudian diskemakan dan hendak dijadikan kerangka kerja strategis Perkumpulan.

Secara glondongan, rekomendasi ini bisa dipresentasikan ke dalam beberapa bagian penting. Pertama, persoalan kesehatan reproduksi dan seksual, merupakan manifestasi dari relasi kuasa timpang yang tidak semata-mata dalam format oposisi binner, melainkan sebuah jaring-jaring kuasa yang saling menopang dan melanggengkan. Ketika seorang perempuan tertransmisi virus penyebab AIDS, tidak bisa dipandang karena ketidakmampuan perempuan untuk melindungi dirinya dari virus ini, melainkan karena ketidakberkuasaan mereka untuk menolaknya. Dalam studi yang melibatkan 1,366 perempuan yang mengakses layanan di pusat kesehatan, menunjukkan mereka yang didominasi secara emosional dan finansial berkemungkinan 52% lebih besar ketimbang perempuan yang tidak hidup dalam suasana dominasi seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun