Loncat-loncatan, Kliwon merenung sejenak. Pilihan kata 'merenung' bukan soal yang sederhana, melainkan memiliki tendensi kefilsafatan. Memang Kliwon seringkali hadir ke dalam dunia ini seperti seorang filosof, 'mempertanyakan sesuatu sampai pada akar-akarnya, terus menerus pergulatan pencarian tiada henti'. Perenungan, tentang kenapa dirinya hadir, kenapa dirinya berbicara, kenapa dirinya bertindak. Perenungan mengenai asal usul dirinya dan seluruh penciptaan yang ada di jagad ini.
Kenapa Kliwon tidak menggunakan kata 'refleksi?' Seperti juga yang pernah ditanyakan Pak Dhe No, bukankah kata 'refleksi' lebih mengemban makna yang dalam, melibatkan rasio yang kritis dan tentu saja lebih njamani? Kliwon dengan enteng menjawab, kalau refleksi lebih murah, hanya 60 ribu untuk 30 menit. "Lihat saja di setiap bandara, harganya tidak terlalu jauh dari puluhan ribu," katanya. Tentu saja, lontaran yang mestinya memecahkan tawa itu tak berefek, lha, wong, Pak Dhe No, seumur-umur lihat bandara juga belum pernah, apalagi naik pesawatnya.
Proses berkesenian di YBK, benar-benar menorehkan rasa sakit yang amat sangat. Proses nylungsumi yang sungguh memenderitakan. Bagaimana tidak, seluruh yang menempel dalam tubuh Kliwon mengelupas, tiada tersisa. Kesombongan yang seringkali diandalkan Kliwon dalam mengahadapi apa saja dalam hidup, dipaksa tanggal begitu saja. Keangkuhan dan kehendak menglahkan, menghancurkan dan kadang membunuh direnggut sampai ke akar-akarnya. Kepicikan berpikir, pandangan yang selalu oposisi biner, tercabik-cabik, berkeping-keping, menjadi ion-ion tak berenergi.
Tetapi kesakitan itu, tak ada artinya sama sekali. Kliwon lahir menjadi manusia baru, manusia muda yang memiliki daya seni yang luar biasa. Kliwon, sang veteran aktivis tahun 80-an itu, kini telah menjadi manusia seni. Manusia yang mampu menciptakan rasa seni yang menyenangkan bagi hidup dan kehidupan manusia dan kemanusiaan. Kliwon yakin benar, dirinyalah sumber seni dan dalam dirinya pula menjadi tempat dan waktu terciptanya rasa seni yang menyenangkan itu, secara berkelindan, secara bersamaan tanpa ada batas dan pembatas, tanpa ada ujung dan pangkal yang merti dipertanyakan.
Kliwon kini menjadi mansuia gaek yang menyadari dirinya, betapa selama ini dirinya menjadi bebal oleh ketidaktahuannya. Menjadi selalu duka, nestapa dan merana, tanpa mengetahui sebab musababnya. Kini dirinya mampu menjawab dengan rasa senang dan menyenangkan. Dulu jiwanya mati, tak bernyawa dan tak berruh sekalgus. Yach, Kliwon yang dulu telah mati. Pemakamannya melalui penciptaan dan pengekspresian seni yang menyenangkan bagi dirinya sendiri dan bagi hidup dan kehidupan seni yang menyenangkan bagi manusia seni yang senang dan menyenangkan diri sendiri dan bagi hidup dan kehidupan kemanusiaa.
Dalam mimpinya, dalam rasa senang dan kesenangannya, muncul berganti-ganti manusia seni yang mampu menciptakan seni dan mengekspresikan seni dengan senang dan menyenangkan, rendra, syahrul, mia, nunuk, herman, tony, asita, susi, ery, linda, besar, jeanny, butet kertaredjasa. Dalam kesuntukannya yang makin larut, hadir berganti-ganti tak ingat lagi, fery, edo, fikron, ama, amin, yogyes, karsono, sidqi, jarot, arief, wiwin, ninik, isti, masduki, arum, dan nama-nama lain lainnya para manusia seni.
Hanya saja karena OTAK Kliwon sudah terlalu tua, rapuh, dan terbatas memorinya, tak mampu menampun lebih banyak lagi dan tak kuasa melakukan pemanggilan ulang secara cerdas dan cepat, setiap data yang sudah tertanam di dalamnya. Mungkin saja karena sistem foldernya yang kacau balau atau file-file yang tak bernama dan tak mampu mengenali extensionnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H