Magelang, dalam peta sejarah kota di Indonesia termasuk dalam kategori kota tua. Setidaknya, sudah menjadi pusat peradaban ketika wangsa Syailendra memilih Magelang sebagai tempat pembangunan Candi Borobudur, sebagai rangkain lanjut dari pembangunan Candi Mendut. Pada masa kolonial, Magelang menjadi tempat perundingan Pangeran Diponegoro dan VOC. Dengan tipu daya, Pangeran Diponegoro menyerah dan kemudian dibuang ke pengasingan. Maka tidak usah heran, manakala kita Magelang, akan banyak menemukan legenda mengenai trah-trah yang mengaku sebagai keturunan para prajurit Pangeran Diponegoro. Berbagai makam yang diakui masyarakat sebagai pesarean prajurit Pangeran Diponegoro akan sangat mudah ditemukan, seperti di Kecamatan Tempuran dan Secang. Sebagai kota tua, Kabupaten Magelang tentu saja memiliki karya-karya budaya yang cukup kuat dan terus hidup di masyarakat. Salah satu kesenian rakyat yang cukup khas adalah seni pentas Kubro Siswo. Kesenian ini sesungguhnya tidak berbeda dengan seni Debus, di daerah Jawa Barat. Pementasan yang menunjukkan kebolehan dan menjaga keseimbangan tubuh, seperti meniti tali dengan sepeda, menyembur dengan minyak tanah, sampai pada pertunjukkan kekuatan tubuh, seperti penebasan dengan pedang. Seni ini bersandar pada tradisi Islam-Jawa, sehingga sepanjang pertunjukkan musik pengiringnya adalah gaya musik Jawa dengan menggunakan alat musik, seperti kendang dan bonang. Sementara lirik yang dinyanyikan puji-pujian kepada Rasulullah, semacam syair berbahasa Arab, kemudian diselingin dengan syiiran bahasa Jawa. Kesenian yang juga tumbuh dan berkembang, jathilan dan ndayakan. Hampir di setiap desa memiliki kelompok kesenian ini, yang menjadi ajang pelestarian seni-budaya Jawa, khususnya Magelang. Berbagai kegiatan kesenian tradisi ini juga mendapatkan ruang cukup memadai dan mendapatkan dukungan dari para pelaku seni di Magelang. Sebut saja, kegiatan tahunan Festival Lima Gunung, yang biasanya di pusatkan di desa Tutup Ngisor, Magelang. Festival ini merupakan kegiatan rutin yang menampilkan berbagai seni tradisi yang dikembangkan masyarakat desa. Momentum ini juga tidak jarang sebagai tempat menyuarakan berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah. Tanto Mendut dan Romo Kirjito, merupakan tokoh Magelang yang sangat mendukung kegiatan Festival Lima Gunung. Selain itu, Tanto Mendut juga memiliki pagelaran sendiri, di rumahnya di Mendut. Di areal tidak terlalu lebar di belakang rumahnya, sering dilakukan pementasan seni tradisi dari berbagai kelompok kesenian di seluruh Kabupaten Magelang. Selain itu, tentu saja dilakukan berbagai pertemuan kesenian, yang tidak jarang juga tampil tokoh seni pada level internasional. Keterpeliharaan seni tradisi, merupakan bagian penting dalam memelihara berbagai nilai substansial yang sangat penting dalam pengembangan hidup bersama dengan semangat menghargai keberagaman. Pluraslisme sebagai anak kandung bangsa ini, bisa terus direproduksi melalui dunia seni tradisi. Meski banyak orang yang juga mempertanyakan, masihkan seni tradisi tetap memiliki posisi sentral dalam pembentukan nilai-nilai masyarakat? Keraguan semacam ini, syah-syah adanya, tetapi yang patut dipertanyakan, masih nalarkah pada era komunikasi dan informasi yang begitu cepat mempertanyakan sebuah entitas tertentu, sebagai pembentuk nilai tunggal? Saat ini, sama sekali tidak nalar melihat pembentuk nilai pada entitas tunggal. Keragaman informasi dan mudahnya akses informasi menjadikan pembentuk nilai-nilai bersifat beragam, dan tersebar-sebar. Situasi ini menjadikan manusia memiliki kemungkinan untuk memilih sumber-sumber nilai mana yang memiliki kemungkinan paling besar untuk menumbuhkan semangat pluralisme, menghargai keberagaman dan menjauhkan dari perilaku kekerasan. Mungkin saja, suatu saat, agama sendiri akanj ditinggalkan orang untuk menjadi panduan dalam kehiduapan sosial-budaya-politik, manakala pengembangan selalu saja mengedepankan pendekatan kekerasan dan dominasi. Agama hanya akan tersingkir sebagai ritual individu, yang nilai-nilainya tidak lagi memiliki efek dalam pembentukan dan mengarahkan nilai-nilai sosial. Agama hanya akan menempati ruang komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Lain tidak. Dalam pemahaman keberagaman sumber informasi ini, kita masih tetap meyakini, seni tradisi yang terus tumbuh dan bertahan di Magelang, tetap bisa mengambil sebagian peran dalam pembentukan nilai-nilai kemanusiaan bermanfaat bagi pembangunan hidup sosial yang beradab, bebas dari kekerasan dan penindasan sesama. Tidakkah berlebihan keyakinan ini? Entahlah, tetapi bermainlah ke Magelang, kita akan mendapatkan jawabannya dari para pelaku seni tradisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H