"Salah satu penyebab sikap homophobia menurut Ourvoice, sebagai salah satu lembaga yang bekerja untuk hak-hak kelompok homoseksual di Indonesia karena kurang informasi dan sedikit ruang dialog tentang LGBT melalui media," kata Hartoyo, aktivis Ourvoice.
Homophobia merupakan sikap takut dan benci yang bercampur-campur, dan melahirkan rasa anti, dan keinginan untuk menghancurkan. Situasi ini tentu saja karena pandangan yang selama ini berkembang, gay dan lesbian merupakan gangguan jiwa. Kebijakan ini cukup panjang hidup dan berkembang di kalangan kesehatan.
Peta pengetahuan dan perkembangan ilmu kesehatan tampaknya menemukan hal yang berbeda. Sejak tanggal 17 Mei 1990, World Health Organization,Badan PBB untuk bidang kesehatan mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit atau gangguan jiwa. "Sejak saat itu, tanggal 17 Mei ditetapkan sebagai hari melawan kebencian pada homoseksual atau IDAHO (International Day Against Homophobia)," kata Hartoyo dalam release yang diterima mmdnews syndicate.
Pada level nasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Tahun 1993 secara resmi juga mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit atau gangguan jiwa. PPDGJ merupakan panduan bagi para medis (dokter, psikiatri) dan psikolog di Indonesia.
Lalu? Seperti juga wajah bangsa ini, lain kebijakan, lain suara, lain hati, dan lain pula tindakannya. Pengeluaran kategorisasi homoseksual bukan sebagai penyakit dan gangguan jiwa, pandangan dan tindakan tetap tidak berubah. Diskriminasi dan kekerasan terhadap homoseksual (gay dan lesbian), biseksual, transgender, dan transeksual terus saja terjadi.
Pelakunya, tentu saja beragam-ragam, keluarga mereka sendiri, masyarakat, dan kebencian yang dibangun melalui pemahaman agama, dan negara melalui kebijakan yang diberlakukannya). Sikap dan tindakan homophiobia ini, pada akhirnya, meyebabkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) kehilangan hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB). "Misalnya, hak untuk bekerja dan menempuh pendidikan bagi kelompok waria, hak berorganisasi dan berkumpul, hak bebas dari rasa takut dan penyiksaaan," kata Hartoyo.
Merasa tak mungkin melakukan kampanye sendirian, Ourvoice melakukan kerjasama dengan jaringan aktivis HAM, perempuan, LGBT dan pluralisme untuk melakukan pendidikan publik dengan memberikan informasi dan mengkampanyekan penghapusan segala bentuk kebencian dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H