Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kang Pepih, Saya Nyengir Kuda

28 Januari 2011   13:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:06 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu pertanyaan menggelitik, dan benar-benar sempat membuat saya cengar-cengir, membaca tulisan berapi-api dan argumentatif Kang Pepih, mengenai "hybrid journalism". Kecercengiran saya, setidaknya berada dalam dua hal penting. Pertama, bermain-main pada wilayah ideologis mengenai substansi jurnalisme warga. Ke mana puncak perjalanan karya jurnalistik yang dilahirkan para jurnalis warga? Pada sisi inilah, Kang Pepih layak untuk melakukan refleksi secara serius, karena dalam nalarnya, puncak perjalanan sang jurnalis warga, ternyata karyanya tertayang di media mainstream. Benarkah?

Bagi saya, sungguh tidak demikian kesimpulannya. Jurnalisme warga, akan tetap menjadi jurnalisme warga dan tidak menjadi ukuran yang memelejitkan, apakah karya jurnalistiknya tertayang di media mainstream atau tetap berada dalam rahim asalnya, media alternatif dengan beragam ukuran dan standardnya sendiri dalam memosisikan karya jurnalistik dalam peta gerakan sosial.

Memetakan berbagai wacana di kalangan jurnalisme warga, seperti jurnalis radio komunitas dan TV Komunitas, memiliki kekhasannya, yang tidak menjadi mainstream dalam kebijakan politik redaksional media mainstream. Jurnalisme Warga memiliki semangat yang terutama, bagaimana informasi yang disampaikan tidak saja terinternalisasi dalam diri pembaca/pendengar/pemirsa sebagai sebuah pengetahuan, melainkan harus melaju menjadi semangat melakukan gerakan untuk perubahan sosial.

Kedua, Kang Pepih memaknai pelopor dan mengekor hanya dengan alat yang sangat sederhana. Sangat sulit untuk mengatakan pelopor dan pengekor, karena setiap karya jurnalistik, meskipun sama topik yang diangkatnya, pada akhirnya akan lahir sebagai karya yang berbeda. Saya yakin, Kang Pepih menyadari benar, manakala meliput bersama-sama sebuah peristiwa sosial, pada akhirnya setiap media memunculkan karya jurnalistik yang berbeda. Sebut misalnya, ratusan wartawan meliput Pidato Presdien, bahan dan susbtansinya sama, tetapi masing-masing wartawan akan menuliskannya dengan berbeda. Karyanya akan sangat dipengaruhi dengan editorial policy yang dimiliki masing-masing media, keluasan cakrawala pengetahuan sang jurnalis, yang pada akhirnya akan mengantarkan pada bagaimana sang wartawan melakukan framing atas fakta yang disaksikannya, untuk kemudian menjadi fakta media.

Dengan kasus liputan bersama semacam ini, apakah benar kita bisa mengatakan ada pelopor dan pengekor? Bukan akan menjadi membingungkan? Yang dinilai,pada akhirnya bukan soal pelopor atau pengekor, melainkan kedalam karya jurnalistik itu sendiri, jujur, lurus atau diplintir untuk kepentingan media berdsangkutan.

Mari kita berdiskusi dengan dengan sungguh-sungguh mengenai ke mana arah puncak dan akhir gerakan jurnalisme warga?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun