Satu pertanyaan menggelitik, dan benar-benar sempat membuat saya cengar-cengir, membaca tulisan berapi-api dan argumentatif Kang Pepih, mengenai "hybrid journalism". Kecercengiran saya, setidaknya berada dalam dua hal penting. Pertama, bermain-main pada wilayah ideologis mengenai substansi jurnalisme warga. Ke mana puncak perjalanan karya jurnalistik yang dilahirkan para jurnalis warga? Pada sisi inilah, Kang Pepih layak untuk melakukan refleksi secara serius, karena dalam nalarnya, puncak perjalanan sang jurnalis warga, ternyata karyanya tertayang di media mainstream. Benarkah?
Bagi saya, sungguh tidak demikian kesimpulannya. Jurnalisme warga, akan tetap menjadi jurnalisme warga dan tidak menjadi ukuran yang memelejitkan, apakah karya jurnalistiknya tertayang di media mainstream atau tetap berada dalam rahim asalnya, media alternatif dengan beragam ukuran dan standardnya sendiri dalam memosisikan karya jurnalistik dalam peta gerakan sosial.
Memetakan berbagai wacana di kalangan jurnalisme warga, seperti jurnalis radio komunitas dan TV Komunitas, memiliki kekhasannya, yang tidak menjadi mainstream dalam kebijakan politik redaksional media mainstream. Jurnalisme Warga memiliki semangat yang terutama, bagaimana informasi yang disampaikan tidak saja terinternalisasi dalam diri pembaca/pendengar/pemirsa sebagai sebuah pengetahuan, melainkan harus melaju menjadi semangat melakukan gerakan untuk perubahan sosial.
Kedua, Kang Pepih memaknai pelopor dan mengekor hanya dengan alat yang sangat sederhana. Sangat sulit untuk mengatakan pelopor dan pengekor, karena setiap karya jurnalistik, meskipun sama topik yang diangkatnya, pada akhirnya akan lahir sebagai karya yang berbeda. Saya yakin, Kang Pepih menyadari benar, manakala meliput bersama-sama sebuah peristiwa sosial, pada akhirnya setiap media memunculkan karya jurnalistik yang berbeda. Sebut misalnya, ratusan wartawan meliput Pidato Presdien, bahan dan susbtansinya sama, tetapi masing-masing wartawan akan menuliskannya dengan berbeda. Karyanya akan sangat dipengaruhi dengan editorial policy yang dimiliki masing-masing media, keluasan cakrawala pengetahuan sang jurnalis, yang pada akhirnya akan mengantarkan pada bagaimana sang wartawan melakukan framing atas fakta yang disaksikannya, untuk kemudian menjadi fakta media.
Dengan kasus liputan bersama semacam ini, apakah benar kita bisa mengatakan ada pelopor dan pengekor? Bukan akan menjadi membingungkan? Yang dinilai,pada akhirnya bukan soal pelopor atau pengekor, melainkan kedalam karya jurnalistik itu sendiri, jujur, lurus atau diplintir untuk kepentingan media berdsangkutan.
Mari kita berdiskusi dengan dengan sungguh-sungguh mengenai ke mana arah puncak dan akhir gerakan jurnalisme warga?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H