[caption id="attachment_156703" align="alignleft" width="267" caption="Ekspresi Seni Seorang Waria, Kenapa Mereka Disingkirkan?"][/caption] Di Yogyakarta, segala macam daya cipta tampaknya bisa mewujud. Tidak saja kreasi dalam berbagai karya seni, melainkan juga model apresiasi dan kecintaan yang amat dalam terhadap agama. Sebuah paradoks spiritual, manakala para pengikut agama menyingkirkannya, mereka yang disingkirkan justru mendekati agamanya. Begitulah kehidupan agama para waria di Yogyakarta. Mereka mendirikan Pondok Pesantren Waria AL-Fattah, sebagai wujud religiousitas yang terus tumbuh dan berkembang dalam dada mereka. Para waria merasakan, betapa kehadiran mereka di dunia ini hanya dipandang sebelah mata, bahkan seringkali dihina-hina, dikuyo-kuyo, seakan-akan Tuhan salah mencipta. Di media kehadiran mereka hanyalah menjadi bahan tertawaan, banyolan tidak bermutu. Kita tentu selalu ingat, nama Tesi, yang selalu menjadi 'bolo dupakan' dalam setiap pementasan Srimulat. Peran yang hanya menjadi jalan bagi pemain lain untuk membuat para penonton tertawa terpikal-pikal, perut kaku hingga mules. Sebuah acara reality show di sebuah televisi swasta, juga dirancang sebagai bahan guyonan, meski yang tampil memang para waria itu sendiri. Tetapi program ini jauh menyakitkan, karena mengambarkan sebuah proses pengembalian waria menjadi laki-laki sejati, yang berarti sedang menegasikan entitas waria memang merupakan ciptaan Ilahi. Dari saudara seagama, mereka juga mendapatkan penolakan kehadirannya. Kita masih ingat, bagaimana para waria lari tunggang langgang ketika sedang mengikuti sebuah Pelatihan Hak Asasi Manusia [HAM] di depok beberapa bulan lalu. Tidak perduli, walaupun waria datang diundang oleh lembaga terhormat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [KOMNAS HAM]. Meski begitu, mereka tetap teguh memeluk agamanya. Pesantren menjadi pilihan untuk menjadi tempat mereka mendekatkan diri kepada sang Pencipta, yang telah mentakdirkan mereka berwadag laki-laki, tetapi dalam diri mereka terpenjara jiwa perempuan. Dan mereka yang berwadag perempuan, tetapi dalam tubuh itu terperangkap jiwa laki-laki. Hanya saja, untuk penciptaan yang kedua, memang tidak terlalu menampak dalam kehidupan keseharian. Para waria tampaknya tetap merasa yakin, sang Pencipta tetap mencintai mereka, memberikan anugerah kepada mereka, dan tetap menjajikan surga bagi merak yang beramal baik dan mengancam dengan neraka bagi mereka yang beramal buruk. Seperti juga yang selalu dijanjikan dan diancamkan kepada semua pemeluk agamanya. Mereka tak perduli bagaimana kehadirannya disia-siakan oleh mereka yang seagama, bagaimana eksistensinya ditolak-tolak oleh saudara seiman mereka. Di Pesantren Al-Fattah, mereka tetap berdoa, membaca Alqur'an, dan sembahyang berjama'ah. Mereka yang nyaman menggunakan sarung dan peci, silakan mengenakannya. Mereka yang nyaman menggunakan mukena tak juga harus dipersoalkan. Pada hari-hari yang telah disepakati, mereka mengaji, di bawah bimbingan ustadz Abdul Muiz Ghazali, seorang mahasiswa sekolah pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Maka seperti juga di Pesantren dan di masjid-masjid lainnya, suara takbir, tahmid, tahlil, selalu dikumandangkan. Proses taqorrub kepada sang Pencipta terus berjalan tiada henti. Lalu, ada bisikan yang menggelitik, "apa yang menjadikan kehadiran mereka ditolak?" "Mengapa kita berani berprasangka, Tuhan telah melakukan kesalahan dengan penciptaan-Nya, sehingga kehadiran waria seakan-akan tidak layak ada di dunia ini?" Sebuah pertanyaan yang begitu lembut, yang bisa hadir dalam setiap jiwa yang memiliki religiousitas, pertanyaan dalam setiap jiwa kita, yang sama-sama beragama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H