Pergaulan dekat saya dengan teman-teman gay, membawa perjumpaan saya dengan seorang gay yang masih sangat muda. Ia mengaku tidak tertarik dengan perempuan, sebaliknya memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Tetapi ketertarikan ini dipendamnya dalam-dalam, dan bila perlu harus dihilangkan sama sekali. Pasalnya, ada ketakutan yang luar biasa, jika mengingat kisah kaum Luth, yang dibinasakan Tuhan karena tindakan sodominya.
Teman gay muda ini tentu sedang masuk dalam sebuah pergulatan batin yang maha hebat. Tarikan antara doktrin berdasarkan kisah-kisah kenabian dengan realitas kejiwaannya. Bergejolak mencari pembebasan diri. Jika tidak berhasil, tentu saja akan terjerambab dalam pertikaian diri yang berkepanjangan.
Saya mencoba menanggapinya dengan sangat berhati-hati. Tidak ingin apa yang saya dialogkan dengannya justru tidak meringankan beban, tetapi malah memasukkannya dalam pergulatan yang makin dalam. Tidak membantu memenangkan pertempuran batinnya, malah memabuatnya menjadi manusia yang kalah.
Soal ketertarikan laki-laki terhadap laki-laki atau perempuan terhadap perempuan bukanlah monopoli teman-teman gay atau lesbian. Saya sebagai heteroseksual laki-laki juga memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Tidak ada persoalan sama sekali. Ketertarikan baru bisa sampai pada derajat orientasi seksual manakala sudah menjelma menjadi 'hasrat' untuk bersama. Saling berbagi cinta dan kasih, dan saling memberikan kepuasan psikis [kebahagiaan] dan fisik [seksual], yang ketika berkelindan keduanya menjadi kehidupan yang bahagia lahir dan batin.
Kehidupan teman-teman gay, juga tidak selalu berarti perilaku sodomi. Dalam berbagai teori seksualitas, kepuasan seksual, tidak hanya dicapai melalui penetrasi penis ke dalam tubuh pasangannya. Sekujur tubuh manusia memiliki sensitivitas seksual. Bahkan kata-kata lembut dan pujian bisa saja mengantarkan seseorang mencapai orgasme seksualnya. Sehingga menjadi kesalahan besar, manakala melihat teman-teman gay secara general, mereka pasti melakukan tindakan seksual sodomi.
Dalam peta pemahaman seperti inilah, saya ingin menjelaskan kisah kaum Nabi Luth mungkin dibedah dari perspektif yang berbeda. Dalam buku hasil investigasi mengenai kekerasan dan diskriminasi terhadap teman LGBTIQ, misalnya, seorang menulis pandangannya yang berbeda mengenai kisah. Menurutnya, dihancurkannya kampung sodom, bukan karena perilaku homoseksualnya, tetapi karena kesombongan, keangkuhan dan tantangan mereka terhadap adzab Tuhan. Perlakuan kaum sodom terhadap 3 laki-laki tamu Nabi Luth, sehingga menjadikan rasa malu yang teramat sangat bagi diri Nabi Luth dan menjadi puncak keterlaluannya kaum Sodom. Puncaknya, tentu saja pengusiran yang dilakukan kaum Sodom terhadap Nabi Luth.
Sebagaimana diketahui, Nabi Luth memang bukanlah penduduk asli kampung yang terletak di dekat Laut Mati itu. Melainkan melakukan pengembaraan bersama saudaranya, Nabi Ibrahim dari Babilonia. Kemudian, keduanya berpisah untuk mencari lahan rumput bagi makanan ternak masing-masing. Sampailah Nabi Luth ke kampung Sodom.
Apakah pandangan itu benar? Tidak pada tempatnya untuk mengatakan benar atau salah. Tetapi saya menghargai upaya-upaya memecahkan rahasis agung di setiap kisah yang disajikan dalam Kitab Suci. Pengembaraan intelektual dan pengukuran kapasitas nalar untuk mencapai kebenaran yang hakiki.
Prinsip yang harus diugemi, bagaimana para pencari kebenaran ini tidak saling menyakiti dan tidak saling memaksa untuk mengikuti dari hasil pencarian masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H