Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Membaca HIV dan AIDS dengan Post-Kolonial

11 Mei 2010   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Postkolonial merupakan cara melihat relasi kuasa dengan memahami persebarannya yang tak lagi bersifat oposisi biner. Wacana ini merivisi nalar studi kolonial yang diajukan Ferdinand de Sausure yang memetakan relasi kuasa dan pengetahuan secara berhadap-hadapan, penjajah dan yang terjajah, si miskin dan si kaya, laki-laki dan perempuan.

Kekuasaan yang menjadi sumber penindasan, dalam postkolonial dipetakan bisa terjadi dalam seluruh level. Relasi-relasi ini yang oleh Michel Foucalt disebut menyebar dalam kuasa pengetahuan dan bahkan terejawantahkan dalam kebahasaan. Pengetahuan dan bahasa yang terkomunikasiakan di dalamnya mengandung kekuasaan dari para pihak.

HIV dan AIDS merupakan fenomena menarik untuk dibicarakan dalam konteks post-kolonial. Berbagai benturan kekuasaan berkelindan di dalamnya. Dalam konteks medis, misalnya, setiap negara hampir kehilangan otonminya dalam merumuskan berbagai situasi mengenai HIV dan AIDS. Danis Altman, menyebutnya dengan sangat tegas, kita sudah tidak memiliki ruang untuk mendefinisikan tentang tubuh kita, cara pengobatan dan cara perawatan.

Rumusan-rumusan global mengenai apa saja yang terkait dengan HIV dan AIDS berada dalam kuasa pengetahuan kedokteran yang dimasukkan dalam setiap sendi kehidupan di negara-negara yang secara kebetulan memiliki angka kasus AIDS tinggi. Kebijakan nasional mengenai HIV dan AIDS harus mengikuti nalar global, yang seringkali menunjukkan kontradiksi.

Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Nasional merupakan contoh terbaik untuk menunjukkan kontradiksi-kontradiksi ini. Pertama, KPAN menerima begitu saja wacana Pekerja Seks, meskipun secara kelembagaan tidak memiliki positioning jelas mengenai terma ini. Hampir bisa dipastikan, KPA tidak memiliki sikap Pekerja Seks sebagai sebuah profesi sebagaimana bentuk profesi lainnya.

Hal ini mesti dipersoalkan, karena KPA memfasilitasi berdirinya Oraganisasi Perempuan Pekerja Seks (OPSI) sebagai salah satu organ dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Ini menunjukkan ketundukkan KPA terhadap kuasa global yang mengorbankan para Pekerja Seks di negeri ini. Tindakan ini bisa disebut sebagai sebuah proses eksploitasi negara terhadap komunitas Pekerja Seks.

Kontradiksi lain, KPA juga dengan mudahnya menerima wacana male sex with male (MSM) sebagai salah satu agenda besar penanggulangan HIV dan AIDS. Penerimaan ini menunjukkan pengabaian KPA terhadap realitas kebudayaan, di mana gay merupakan identitas kultural yang berbeda dengan laki-laki.

Post-kolonial membantu dengan kritis memetakan penindasan yang terjadi. Bahkan dalam skema program yang seakan-akan sebagai bentuk pembelaan terhadap komunitas yang selama dipinggirkan oleh hampir seluruh sistem yang bekerja dalam kehidupan keseharian.

Menghindari berbagai praktek penindasan yang bersumber dari pengetahuan dan bahasa merupakan pekerjaan berat yang harus dilakukan oleh aktivis HIV dan AIDS. Terpenting yang harus dilakukan harus menggeser cara pandang HIV dan AIDS, dari fenomena medis ke arah fenomena sosial. HIV dan AIDS harus dipandang sebagai dampak dari relasi kuasa baik pengetahuan dan bahasa.

Meletakkan HIV dan AIDS sebagai bentuk praktek relasi kuasa yang timpang, tersebar-sebar dalam moda komunikasi yang ada, akan membantu penemuan agenda penyelesaian yang lebih detail. Memperbaiki program-program yang tidak efektif dan bahkan membuahkan stigma dan diskriminasi.

Pada titik inilah, supremasi medis dalam penanggulangan HIV dan AIDS sudah saat dipertanyakan. Karena terbukti tidak mampu bekerja sendiri tanpa melibatkan perspektif sosialnya. Problem stigma dan diskriminasi tidak bisa tersentuh jika agenda penaggulangan HIV dan AIDS hanya menggunakan perspektif medis. Keengganan mereka yang memikiki kerentanan terinfeksi HIV untuk melakukan test, karena ketakutan akan mengalami pengucilan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun