AFI langsung saja bergegas pulang setelah ujian kognitif usai karena dia ingin ikut berbelanja bersama ibu angkatnya, atau mungkin lebih ke kakak perempuan angkat, sebab orang itu berwajah muda cantik namun entah kenapa berubahnya bisa begitu banyak, sangat menarik perhatian sekaligus mencurigakan, karena kebetulan orang itu ekspresinya kejam, sehingga kesannya seperti psikopat dingin, meski begitu AFI sama sekali tidak ngeri dan malah sebaliknya, dia sangat menyayangi perempuan tersebut. Orang tersayang yang sudah AFI anggap sebagai ibu sekaligus kakak itu biasa dipanggil Manda.Ketika mereka sepakat untuk istirahat sejenak di kafe dengan membawa banyak kantung belanjaan, mereka membicarakan banyak hal yang menyenangkan sekalipun Manda berwajah datar, begitu sampai akhirnya Manda bertanya tentang ujian AFI tadi pagi saat pesanan mereka berdua terhidang di meja.AFI perlahan mulai muncul rasa takut dan bersalah kalau sampai membohongi Manda, lebih baik terus terang saja ucapnya dalam hati. Pengalaman enam tahun mengenal Manda mengajari AFI bahwa orang di depannya ini tak mungkin ditipu. Manda memang seolah bisa membaca pikiran orang. Saat ini, bukan untuk pertama kalinya, AFI kembali mengira barangkali Manda dulunya psikolog atau semacamnya, tetapi seketika AFI ingat pikirannya itu jelas salah.
“Kamu sudah tahu apa pekerjaanku dulu,” kata Manda terganggu, rupanya dia tidak nyaman membicarakan masa lalunya di tempat umum. “Yah, jelas aku bukan psikolog. Aku dulu anak IPA, bukan IPS. Kemudian Manda meminta AFI untuk memilih satu soal ujian, coba kamu tanya saja satu soal yang kamu kosongkan tadi. Mungkin aku tahu”. “Emm...” AFI menjawab dengan potongan roti yang masih memenuhi pipi. “Tadi tentang kognitif, apa yang dimaksud dengan kognitif ?, kalau nggak salah”, “Kognitif? Yah, mempelajari struktur serta proses mental manusia yang meliputi perolehan, penyimpanan, pengambilan dan penggunaan pengetahuan (proses berfikir), sedangkan menurut Ellis dan Hunt (1993) mengatakan kognitif ini study tentang proses mental manusia.
Begini,” Manda menaruh cangkir kopi, lalu membungkuk mengambil satu apel merah gemuk dari kantung belanjaan. AFI memperhatikan tidak mengerti. “Itu apelku” katanya, “Gampangnya kognitif itu kecerdasan,” jawab Manda mengabaikan AFI. “Semacam penilaian seseorang berdasarkan pengetahuan dan sudut pandang, tergantung orangnya”. Rasanya AFI jadi sedikit lebih mengerti kalau dijelaskan begitu, namun dia tidak paham apa hubungannya dengan apel, dan Manda menangkap kebingungan anak angkatnya.
“Nah, sekarang coba menurut penilaianmu, apa yang bisa kamu dapat dari apel ini?” tanya Manda dingin. Sorot gelap mata Manda mengingatkan AFI ke guru galak maha-tahu di sekolahnya yang membuat siswa manapun bisa salah menjawab.
“Emmmm...” AFI sudah hampir memberi jawaban gugup semacam entahlah atau rasanya enak, tapi dia tahu Manda tidak mengharapkan jawaban bodoh seperti itu. “Gizi Vitamin??”.
“Nah itu tipe jawaban standar dari sudut pandang orang biasa,” terang Manda dengan nada seolah dia luar biasa. “Coba tanya ke ahli makanan dan mungkin mereka bisa ngasih penjelasan mendetail tentang rasa dan kandungan gizi apel.
“Ohhhh,” mata AFI membulat seakan memahami sesuatu. “Jadi kognitif semacam sudut pandang?”.
“Tadi memang sudah kubilang sudut pandang kan?” kata Manda malas. “Sebenarnya ilmu sosial sangat sederhana untukku, tapi kadang jadi menarik kalau dibahas lebih lanjut. Misal, apel ini buah paling menyehatkan, tapi cuman satu-satunya di dunia dan entah gimana cara menanamnya, orang yang ahli biologi pasti bakal mikir cara untuk membudidayakan apel ini, diperbanyak. Orang berjiwa dagang ngeliat apel ini lain lagi, dia akan cari tahu cara mendapat keuntungan sebanyak mungkin dari satu apel. Mereka yang peduli sesama bakal mencoba menyebarkan buah sehat ini ke seluruh dunia. Tapi di mata orang tolol sih, ya, ini cuman apel biasa, “Di mata orang cuek malah nggak ada artinya.”
Sekalipun muncul kesebalan sesaat dari cara menjelaskan Manda, AFI sekarang sudah jauh lebih memahami soal kognitif. Dia merasa pastilah ujiannya dapat seratus bila tahu tentang ini sebelumnya. Rasa kagum AFI ke ibu angkatnya bertambah jauh lebih besar mengalahkan rasa sebalnya, dan dia tertarik kalau ada sudut pandang hebat lain dari sebuah apel.AFI sangat yakin, sudut pandang ibu angkatnya pastilah yang paling hebat, dia merasa tidak mungkin ada yang lebih hebat lagi dari hasil penilaian yang bisa mempengaruhi orang sedunia, setidaknya sampai Manda berkata lagi, yang seperti biasa, bisa membaca pikiran AFI.
“Rotimu sudah habis, Mau kukupaskan apel ini?” Manda bertanya kepada AFI… Anggap saja hadiah selesai ujian dan semoga hasilnya bagus, bagaimanapun juga kau kan anakku, walau untuk kognitif ini tidak akan dapat seratus.”
AFInyengir setuju, dan Manda dengan kecepatan luar biasa mengeluarkan balisong baja damaskus “semacam pisau kupu-kupu”, mengupas kulit apel sangat cepat, dan memotongkan apel untuk AFI. Setelah makanan sudah habis, lalu mereka bergegas pulang dan berakhirlah cerita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H