Ketika Muhmmad Hatta, tokoh proklamator melontarkan pernyataan bahwa di Indonesia korupsi sudah menjadi budaya, mendapat bantahan banyak kalangan. Alasan dikemukakan adalah masyarakat Indonesia belum menerima tindakan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah terjadi dan dapat diterima masyarakat. Tindakan korupsi masih dipandang sebagai perbuatan tercela, memalukan dan melanngar hukum.
Pemimpin lahir dari masyarakat, karena itu pemimpin adalah cermin masyarakat itu sendiri. Nah apakah para pemimpin yang korup sekarang ini adalah cermin masyarakat yang juga korup? “Belum menerima” tindakan korupsi sebagai sesuatu yang “lumrah”, tidak berarti “tidak pernah” melakukan tindakan korup. Para pejabat yang terjerat kasus korupsi itu, bisa dipastikan, juga tidak menerima perbuatan korupsi sebagai suatu yang lumrah, yang bisa dimaafkan. Artinya slogan anti korupsi yang didengungkan baru sebatas sikap dalam hati, belum terwujud dalam perilaku sehari-hari. Bagaimana dengan pandangan korupsi sebagai tindakan tercela yang memalukan?
Semua orang tahu kalau birokrasi Indonesi sangat lamban dalam pelayanan. Untuk mempercepat mendapatkan pelayanan, masyarakat tak segan-segan memberikan uang pelicin. Atau bila terjadi pelanggaran aturan, menyerahkan “uang damai” kepada aparat merupakan cara tepat dan cepat mendapatkan solusi. Untuk mendapatkan sebuah proyek perlu disediakan uang sogok. Nah, apakah pada saat memberikan uang pelicin, uang damai kepada aparat atau sogokan kepada pejabat, adakah pelaku merasakan sebagai perbuatan tercela yang memalukan?
Amatilah, ketika keluar dari gedung KPK setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi, tersangka, terdakwa bahkan sudah berstatus terpidana korupsi, mereka masih bisa menebar senyum di depan kamera dan disaksikan masyarakat banyak melalui tayangan televisi. Adakah terbersit pada wajah mereka perasaan malu dan tercela? Rasa malu mestinya dihidupkan dan dikembangkan dalam sanubari bangsa Indonesia. Rasa malu dan akal budi adalah komponen penting untuk mengendalikan hawa nafsu yang cenderung liar. Nafsu liar ini melahirkan sifat serakah yang menjadi faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor). Korupsi adalah jalan pintas dan cara gampang memenuhi nafsu serakah. Memiliki belasan mobil mewah, rumah berarsitektur Eropah dan isteri lebih dari satu belum cukup memuaskan nafsu serakah. Tidak cukup rekening isteri, anak dan kerabat sebagai tempat menitipkan uang, tembok rumah dinas dijadikan brankas. Mahatma Ghandi pernah mengatakan, “bumi dan isinya cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak cukup untuk seorang serakah.”
Dalam proses perpolitikan nasional, maraknya praktek money politic tidak semata kesalahan politisi. Andil mental korup masyarakat juga mendukung praktek jual beli suara pada pemilukada, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pembelian suara oleh politisi takkan terjadi sekiranya masyarakat menolaknya.” Hak politik warga Negara untuk memilih, satu kali dalam lima tahun itu, dijual murah dengan uang seratus atau dua ratus ribu plus nasi bungkus. Praktek jual beli suara inilah yang menghilangkan kecerdasan masyarakat menentukan pilihan secara objektif. Ongkos politik yang mahal sebagai akibat praktek politik uang juga menjadi “biang” tipikor. Uang yang dibagi-bagikan tidaklah gratis, melainkan harus dibayar mahal dengan anggaran Negara yang akan dikorup.
Persoalan korupsi sekarang ini tidak dapat dikatakan kasuistis, hanya dilakukan segelintir orang, tetapi sitematis, rapi dan melibatkan mafia. Cobalah simak apa yang ditayangkan media ektronik dan media cetak, nasional maupun daerah, marak dengan berita korupsi. Tipikor masih menjadi berita utama. Padahal yang sangat dinanti-nantikan masyarakat adalah berita capaian kemajuan pembangunan yang memberikan harapan masa depan yang lebih baik.
Eskalasi tindakan korupsi sudah meluas, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Desentralisasi politik tampaknya berjalan lurus dengan desentralisasi tindak korupsi. Lebih dari separo Bupati/Walikota dan Gubernur dan pejabat daerah lainnya terlibat dalam tindakan pidana korupsi. Sebanyak 298 dari 524 Kepala Daerah di Indonesia tersangkut perkara tindak pidana korupsi, 290 diantaranya sudah berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana. (Kompasiana). Modus operandi tipikor terbesar kepala daerah 60% mark up, 15 % penyelewengan dana bantuan sosial. (Ali Maskur Musa, Bareskrim).
Menariknya, para mantan narapidana tipikor ada yang diangkat kembali menjadi pejabat di daerah. Di provinsi Kepulauan Riau, terdapat 14 mantan narapidana tipikor yang diangkat menjadi pejabat kembali (Tribun News. Com). Merujuk laporan Transparerncy International, tahun 2013 Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 32, berada pada Pringkat 114 dunia. Bandingkan dengan Thailand 35, Piliphina 36 , Malaysia 50, Brunei 60 dan Singapore 86. Dengan IPK 32 Indonesia berada di ranking 114 negara terkorup dari 177 negara. Nah, sekiranya Bung Hatta saat ini masih hidup, lalu melontarkan kembali pernyataaannya di atas, masih adakah alasan untuk menyangkal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H