Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dulu G30S, Sekarang De Oost, Selanjutnya di Balik 98?

1 Agustus 2024   15:35 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:38 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Gambar Pribadi

          

  Harus diakui, film merupakan penghantar informasi paling efektif sejauh ini dalam menceritakan sejarah. Siapa sih yang tidak suka dengan namanya cerita? Cerita bahagia hingga cerita horor banyak peminatnya. Karena memang karya dengar jauh lebih dulu ada di peradaban daripada karya tulis. Terlalu mimpi jika ingin minat baca hingga 75% ke atas. Minat belajar mencapai 50% saja sudah menjadi modal besar untuk kebangkitan bangsa (dan bangsat).

            Era orde baru termasuk yang menggunakan film sebagai media pendidikan (baca: propaganda). Dari mencegah ideologi komunis hingga menakut-nakuti masyarakat dengan hantu komunis. Komunis yang perlu dipahami secara mendalam dari Marx hingga peranakannya di China dan Rusia. Berhasil dijadikan musuh bersama oleh orde baru sebagai hero berideologikan Pancasila, katanya. Komunis yang istilah akademis menjadi istilah kriminal, sangat ciamik.

            Era menantunya penguasa orde baru sudah bersiap dengan musuh bersama baru yang "digunakan" untuk mempersatukan bangsa. Kejahatan-kejahatan Westerling yang sudah didatangi oleh malaikat man rabbuka kini digali kembali. Muncul kembali ke permukaan menjadi pembicaraan diantara 270 jutaan masyarakat Indonesia. Jika benar menjadi gosip, jika salah menjadi fitnah. Tapi jangan harap membasuh dosa-dosamu juga sih West, eh Kakek West.

            Beberapa tahun ke belakang film ini memang sempat viral karena diproduksi langsung oleh produser film dari Belanda, New Amsterdam Film Company. Secara, mereka sendiri pelakunya, mereka juga yang memproduksinya. Sebuah POV yang jarang untuk perfilman sejarah perjuangan kemerdekaan. Apakah selanjutnya pemerintah juga berani membuat film tentang kekejaman mereka di tanah-tanah konflik yang "direbut" juga soal tersendiri.

            Tapi sebagai masukan untuk pak Prabs, tolong diwajibkan juga film berkaitan dengan reformasi '98, pun demonstrasi Tritura 1966. Bagaimanapun memori rasa masa lalu harus juga bisa ditransfer ke masa kini. Berdamai penting, tapi bukan berdamai karena tidak tahu. Justru damai yang lahir dari kesadaran akan pahitnya masa lalu. Maka media film paling mampu untuk menyimpan atmosfer-atmosfer rasa, tidak seperti tulisan yang cenderung hanya mengandung informasi.

            Mimik wajah pemain, instrumen musik yang digunakan, pengambilan gambar yang epik merupakan kekayaan tersendiri pada karya film. Berbeda dengan buku yang kalaupun memberi banyak ruang untuk menggambarkan situasi yang terjadi. Ruang-ruang tersebut perlu dibangun oleh pikiran pembaca yang imajinatif. Sedangkan tidak setiap manusia dianugrahi kelebihan dianugerahi kelebihan imajinatif. Merupakan tugas-tugas manusia imajinatiflah justru menampilkan daya khayal mereka dalam bentuk film melalui tuturan para saksi sejarah.

            Berkaitan dengan saksi sejarah, sebagai generasi Z tentu otoritarianisme masa orde baru sekedar menjadi sejarah "katanya" atau sejarah "dalam buku bla, bla, bla". Bukan sejarah yang memang benar-benar dirasakan secara langsung. Kami (Saya) hanya bisa mendengar kalau zaman itu informasi dibatasi, ada petrus, pemerintah yang berpihak pada blok barat, dan dark story lainnya. Ada juga yang kangen orde baru dengan alasan stabilitas politik, harga bahan pokok yang stabil, pemilu yang gak ribut-ribut amat.

            Terlepas dari itu semua, saksi yang mengalami represi secara jelas tentu orang tua sendiri. Ayah yang kuliah sekitar tahun 80-an di IAIN Bandung saat itu mengalami represi orde baru terhadap kehidupan kampus. Beliau pernah bercerita kalau suatu saat ABRI pernah tiba-tiba masuk ke kelas-kelas di kampus. Mereka sedang mencari mahasiswa yang dianggap melawan pemerintah. Sayangnya, kepala Ayah malah dipukul oleh senjata laras panjang.

            Peristiwa-peristiwa orisinal seperti ini, jika hanya dibukukan dalam karya yang "kering" dari unsur emotif. Lama kelamaan bisa berubah menjadi legenda atau bahkan mitos dari mulut ke mulut. Hanya orang-orang tertentu pula yang mau menyisihkan sebagian umurnya untuk mengetahui kejadian-kejadian sejarah dari buku-buku yang tebal. Maka dari itu, sebagai penutup, Saya menantang pemerintahan baru nanti untuk menayangkan seperti Di Balik 98 sebagai film wajib!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun