Aku tak pandai merangkai kata, perbendaharaan kata ku tak sekaya anak senja. Aku hanya seorang pembaca sembarang, penulis asal yang selalu ingin beda. Tak pandai memuji, tak pandai memuja.
       Seandainya kau membaca tulisan ini. Ketahuilah, Aku tulis ini dengan penuh cinta. Mungkin bukan tinta hitam yang menjadi saksi. Tak seindah seperti drama-drama di TV. Hanya nyala laptop dengan berbagai memori dan kerja komputerisasi yang jadi bukti. Selebihnya, mungkin angin yang meniup dari kaliurang ke selatan. Melewati dusun Tempel yang merupakan tempat kosku berada.
       Kamu, wanita terikhlas yang mencintaiku. Meskipun aku selalu ragu. Entah ada apa dengan otakku yang begitu kotor. Selalu meragukan segala sesuatu. Hanya perasaanku saat menulis ini yang menjadi bukti keikhlasanmu.
       Aku, memang lebih tua beberapa bulan darimu. Tapi kedewasaaanmu bertahun-tahun lebih dewasa daripada seharusnya Aku sebagai kakak. Aku menyayangimu.
       Mengingatmu adalah dzikir. Dzikirku, mengingatmu. Aku tak peduli dengan ini musyrik atau tidak. Aku hanya ingin memposisikan diri sebagai hamba yang lemah. Hamba yang masih cinta pada makhluk-Nya. Makhluk terindah yaitu kamu.
       Seandainya aku harus mati besok. Bahkan itu yang kuharapkan. Aku bahagia telah mengenalmu. Mungkin kau akan sedih atau bahagia karena tak lagi harus repot dengan Aku yang kekanak-kanakan. Tapi, aku mencintaimu di setiap dimensinya. Dulu, Kini, dan Nanti.
       Jika kematianku akan menyelamatkanmu dari kejahatan-kejahatan yang tertanam dalam diriku. Aku rela, aku ridha. Semoga kau selalu bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H