Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lembaga Pendidikan Islam Kok Otoriter? Malu Dong Sama Gus Dur!

2 April 2024   02:22 Diperbarui: 2 April 2024   02:22 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Tulisan ini lahir masih dalam kondisi kesel dengan kampus sendiri. Genap sudah satu tahun belum turun ijazah di kampus yang berlatar lembaga pendidikan Islam. Tulisan Saya sebelumnya pun sudah diminta untuk ditarik kembali karena tidak terbiasa dikritik. Sedangkan penjelasannya pun tidak resmi. Kalau tidak lewat WA, surat yang dikeluarkan pun tidak menggunakan tanda tangan dan cap. Miris memang.

              Memang bukan pertama kali pengalaman menghadapi budaya otoriter lembaga pendidikan Islam ini. Pernah sekali dalam kehidupan Saya sudah membudayakan kegiatan literasi di suatu pondok. Karena tidak sesuai dengan karep yang punya (salah satu keluarga). Akhirnya dibubarkan.

              Ternyata, memang budaya Demokrasi di pondok ataupun lembaga Pendidikan Islam itu sejauh ini memang minim. Mungkin bagi kawan-kawan dari pondok pesantren modern berbeda. Khususnya untuk pesantren yang menggunakan kurikulum KMI seperti Gontor, dan lain-lain. Tapi sejauh Saya bergaul dengan kawan-kawan yang berlatar pesantren tradisional. Beberapa memang hanya membudayakan sami'na wa atha'na, atau memang si santrinya sendiri yang cari aman dengan manut kyai.

              Menurut Saya, cara pandang otoriter ini tidak terlepas dari tradisi pengkultusan pada keturunan kyai., ustadz, ataupun semacamnya. Memang, pernah Saya mendengar dari kitab Tanbihul Mughtarin bahwa anak keturunan orang-orang Shalih ataupun Masyayikh itu membawa berkah. Kebiasaannya nakal tapi selalu ada keajaiban karena do murid-muridnya pada Sang Guru. Tapi tidak untuk dikultuskan juga.

              Pengkultusan itu berlanjut pada status kepemilikan pesantren ataupun yang semacamnya kepada keluarga. Padahal lembaga pendidikan Islam itu milik umat. Wakaf untuk umat. Keluarga Yayasan yang dipercaya hanyalah diberi amanah, bukan kepemilikan. Hal inilah juga yang membuat orang-orang tak beruntung menjadi bagian keluarga yang hendak beri'tikad baik. Sulit untuk ikut membangun karena akhirnya balik lagi pada karepe pak yai beserta keluarga. Bahkan ujung-ujungnya malah rebutan kekuasaan antar keluarga di yayasan.

              Ternyata kritik terhadap kondisi pesantren yang tidak terbuka ini telah dilakukan oleh Gus Dur sebelumnya. Demikian yang disampaikan oleh Subhi Ibrahim pada kegiatan KPII yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Demokrasi yang selalu digagas oleh Gus Dur tidak semata-mata berupa kritik eksternal terhadap pemerintahan Orba saat itu. Akan tetapi juga kritik internal pada tradisi pesantren yang kolot nan feodal. Oleh karena itu Gus Dur menulis artikel-artikel tentang pesantren seperti dikumpulkan pada "Bunga Rampai Pesantren".

              Fenomena feodal nan otoriter seperti ini jelas menyalahi apa yang diajarkan oleh Rasul dan para Sahabatnya. Contoh sederhana yang saya yakin semua pembaca telah mengetahuinya seperti bagaimana rasul bermusyawarah untuk persiapan perang khandaq. Bagaimana rasul dengan leluasa menerima masukan dari Salman al-Farisi yang menurut sebagian pendapat ia masih kafir. Bagaimana rasul siap memotong tangan Sayyidah Fatimah seandainya ia mencuri.

              Pesantren, terkhusus pesantren yang masih menganut sistem keluarga haruslah sadar. Bahwa dinasti kalian itu hanyalah titipan bukan lapangan pekerjaan. Pun masyarakat hendaknya berani bersuara, bahwa pondok pesantren sejatinya milik Tuhan. Bukan milik keluarga, bahkan keluarga Gus Dur sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun