Perkembangan AI sekali lagi menunjukkan bahwa manusia sebagai pencipta yang idealnya lebih sakti daripada yang diciptakan. Justru kalah oleh yang diciptakannya sendiri. Betapa tidak? Mengingat berapa tarikan nafasnya dalam satu menit saja manusia kesulitan. Sedangkan teknologi ciptaan manusia seperti komputer yang saya gunakan untuk mengetik ini bisa mengetahui berapa kata yang dituliskan secara cepat dan tepat.
        Keterbatasan Kita dengan segala dimensi kehidupan yang harus dihadapi setiap hari dimulai dari kesejahteraan lahir-batin sendiri, keluarga, lingkungan sekitar rumah hingga pekerjaan dan segala isinya. Bukan tidak mungkin menuntut Kita untuk bisa beradaptasi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya secara cepat. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi. Berita bisa datang lebih cepat daripada langkah kaki sebelum menyentuh tanah. Jarak tempuh yang dahulu perlu berbulan-bulan bisa diringkas menjadi satu hari.
        Seperti saat berkendara, gerak cepat yang tak terduga ini menuntut penguasaan diri sebagai seorang driver maupun penguasaan terhadap kendaraan yang Kita tunggangi. Sehingga Kita bisa memutuskan manuver yang tepat setiap kali ada kendaraan lain yang menyusul, Kita sendiri menyusul, atau tiba-tiba ada kendaraan cepat yang datang dari arah berlawanan.
        Tanpa disadari, Kita (Saya) sebenarnya sudah disediakan oleh Tuhan banyak cara agar bisa menguasai diri, siap menghadapi segala kemungkinan yang ada dalam kondisi prima. Dimana cara-cara itu sering Kita sebut sebagai ibadah, yang identik dengan sebuah tuntutan kewajiban, mantra, ritual atau istilah apapun yang bernadakan kegiatan formalitas belaka. Padahal lebih dari sekedar mantra, ibadah ialah proses pengembalian diri pada alam, pada kesadaran.
        Tanpa maksud menghakimi, orang Islam sendiri banyak yang mulai mencoba healing dengan menggunakan teknik yoga dan sedulur-dulurnya. Tidak salah. Setiap orang memiliki preferensi dan pengalamannya masing-masing kok. Pun saya meskipun tanpa sanad yang jelas seringkali belajar mengolah nafas untuk menjaga kesadaran dan sedikit mengurangi tekanan pada pikiran. Mengimajinasikan exhale-inhale sebagai proses keluar masuknya energi positif bergantian dengan energi negatif yang dikeluarkan dari tubuh.
        Padahal pada ritual-ritual yang sehari-hari dilaksanakan saja sudah mengandung healing, akunya saja yang tidak iling. Coba saja bayangkan, di tengah-tengah kesibukan tengah hari dan keruwetannya pikiran saat suhu mencapai puncaknya. Tuhan melalui adzan mengumandangkan agar merelaksasi diri. Melepas segala penat dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Mengosongkan pikiran yang terus berdenyut dengan memfokuskan diri pada dzat satu yang mengurus segala hal.
        Setiap lima waktu Tuhan meminta manusia memasrahkan rasa khawatir yang tak abis pikir. Tentang masa depan yang gamang. Masa lalu yang kelam. Masa Kini yang penuh tekanan. Semua energi negatif itu minta dilepaskan sesuai dengan waktu yang telah Tuhan tentukan. Karena Tuhan sendiri yang Tahu kapan waktu yang tepat bagi manusia untuk melakukan healing agar eling. Pun di agama-agama lain Tuhan telah menentukan waktu yang tepat.
        Itulah juga mungkin yang melatar belakangi kenapa waktu salat tidak didasarkan pada Jam. Tapi pada gerak matahari dan bulan. Karena peredaran darah dan makhluk hidup pada umumnya mengikuti gerak semesta. Bukan gerak jam yang bisa diputar balik seenak jidat.
        Kembali pada gerak semesta ini agaknya perlu Kita perhatikan bersama. Tidak terpaku pada angka-angka buatan manusia. Seperti para petapa yang berusaha bersatu dengan alam. Alangkah indahnya jika setiap waktu salat disamping berpatokan pada jam. Juga berpatokan pada gerak matahari, bulan, dan bayang.
        Inilah ritus yang bukan sekedar mantra, tapi alarm penyadar.