Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Tawakal dan Manja

8 Januari 2024   01:17 Diperbarui: 8 Januari 2024   02:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat beda tipis. Tawakkal yang sering kita artikan penyerahan diri kepada Allah. Dan manja yang identik dengan anak mamih. Anak mamih dengan me-mamih-kan Allah.

Inilah yang mungkin membuat Karl Marx mengatakan "agama adalah candu". Ya, memang untuk konteks masa dimana Karl Marx mengatakan itu "sabda"-nya bisa disebut cocok lah. Masa dimana kaum Proletar mengalami penjajahan di tanah sendiri oleh para kaum borjuis.

Berdasarkan dari "Filsafat Kontekstualisme ala Fakhruddin Faiz", kita tak bisa menyalahkan pemikiran para pemikir ataupun ilmuan begitu saja. Khususnya dalam konteks ini pemikiran Karl Marx yang akan begitu sensitif dibahas bagi sebagian pembaca. Karl Marx dengan Marxismenya bersama Friederich Engels yang singkatnya telah melahirkan begitu banyak faham kiri seperti sosialisme dan komunisme tak bisa dipandang sebelah mata.

Kasarnya, jika pemikiran Karl Marx itu ialah telur, maka kita singkirkan saja kotorannya. Pemikiran-pemikiran seperti persamaan derajat manusia, penghilangan (meski agak utopis) kasta sosial, juga revolusi kaum buruh perlu diambil sari patinya. Toh dalam Islam persamaan derajat semua manusia juga ada kan?

Dalam hal ini anggap saja saya menggunakan kotoran ayam sebagai pupuk. Yah, meskipun mungkin derajat tamsil itu pengetahuan yang rendah. Itu kembali kepada preferensi Anda.

Kotoran yang tengah saya pakai ialah perkataan "agama sebagai candu". Maksudnya? Ya, ketika agama mengekang Anda dari menggunakan akal dan segala potensinya bukankah itu candu? Anda mungkin akan menjawab "bukan agama yang salah tapi orangnya". Terseraj mau agamanya ataupun oragnya. Intinya konsep demikian yang yang saya sasar. Kalau agamanya (konsepnya) tidak mengekang ya tak apa.

Lebih mendalam lagi dalam hal ini ialah ketika konsep tawakkal membuat manusia manja. Penderitaan yang selalu diidentikkan dengan takdir serta doktrin bagi kita untuk hanya "nerimo". Itulah yang membuat manusia tidak berkembang.

Coba Anda bayangkan. Ketika Anda (mohon maaf) menjadi orang miskin. Anda akan menerima begitu saja dengan alasan ini adalah takdir Tuhan. Atau Anda memilih bangkit bahwa , "Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya?. Sehingga dengan ayat tersebut membangkitkan kesadaran optimisme? Tipis bukan? Bahkan saya tidak "mencandukan" agama disini.

"Nerimo" dan manja ternyata sangat tipis. Ketika kita nerimo dengan penderitaan-penderitaan yang "Tuhan takdirkan". Tidakkah kita berpikir bahwa Tuhan telah menciptakan berbagai potensi bagi kita? Kita punya akal untuk mengusahakan potensi apapun yang kita miliki. Jika satu jalan gagal, masih ada 1001 bahkan bagi Allah potensi itu tidak terhingga.

Misal Anda hidup sebatang kara tanpa modal materi. Anda bisa menjadi pemulung. Anda bisa menjadi pekerja panggul. Anda bisa menjadi banyak kemungkinan-kemungkinan yang akhrinya menjadi takdir Anda.

Baca juga: Munajat Kematian

Bukan berarti tidak menyerahkan urusan kepada Allah. Tapi jangan manja. Tak punya harta ada tenaga, tak punya tangan ada kaki, tak punya uang ada akal yang bisa terus dan terus kita kembangkan, kita latih. Bukan hanya menagis dan menerima "yasuddahlah, ini takdir saya, ini dosa saya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun