Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngawamkeun Diri: Belajar Menjadi Bodoh, Sebuah Episteme Lokal yang Perlu Dikenal

25 November 2023   22:06 Diperbarui: 25 November 2023   22:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Untuk apa belajar? Supaya menjadi pintar. Kenapa harus pintar? Agar tidak dibodohi. Kalau jadi orang jahat setidaknya menjadi penjahat kelas kakap, bukan kelas teri. Demikian percakapan yang mungkin sering terdengar di telinga Kita atau justru Kita sendiri yang menjadi pelaku percakapan itu.

            Belajar kalau mau dibuat simpel mempelajari sesuatu sehingga menjadi tahu. Dari kosong melompong jadi berisi. Kosong dalam artian Kita lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa kalau mau meminjam teorinya John Locke. Lalu berubah menjadi tahu setelah diajarkan minimal oleh orang tua Kita sendiri, belajar sendiri jika memang lahir seperti Hayy bin Yaqdzan, atau mungkin oleh siapa pun yang pertama kali mendidik Kita seandainya memang Anda anak hasil nemu.

            Umumnya anak kecil memang menggemaskan, sekaligus menyebalkan bagi yang tidak tahan saat dia banyak tanya. Karena memang mereka ingin tahu. Dimana dengan rasa ingin tahu yang terpenuhi, maka mereka akan merasa aman dari ketidaktahuan. Pertanyaan, "ini apa?" yang berulang-ulang dari seorang anak memang suatu rasa ingin tahu yang murni.

            Hal inilah yang hilang dari orang dewasa karena merasa sudah tahu dan lebih lama tinggal di bumi. Demikian kurang lebih perkembangan manusia menurut Piaget dan Baltes. Dimana impact-nya sendiri ialah bukan lagi menerima pengetahuan secara reseptif, tapi cenderung reaktif. Kalaupun tidak ya reflektif. Gejala tersebut juga bukan sesuatu yang harus disalahkan, karena sebagai bentuk penjagaan dari pemahaman yang salah. Maka otak merespons dengan cara demikian.

            Maka, ngawamkeun diri (membuat diri menjadi awam) adalah salah satu solusi atas kondisi Kita yang cenderung reaktif. Meskipun memang ketika pengetahuan terdahulu Kita bertemu dengan pengetahuan baru bisa saja menjadi kawin dan menghasilkan pengetahuan yang jauh lebih baru. Akan tetapi tidak akan bisa kawin secara sempurna jika Kita tidak paham dan mengenal terlebih dahulu pada pengetahuan yang baru secara paripurna.

            Tiada lain, agar bisa mengenal pengetahuan baru secara mendalam ialah dengan mendengarkan dan memperhatikan ia secara mendalam. Hilangkan terlebih dahulu apa yang sudah dipahami sebelumnya, bahkan apa yang orang lain katakan. Sehingga Kita benar-benar murni mengenal si pengetahuan baru.

            Kenapa harus "bodoh" (mengosongkan pikiran dari apa yang diketahui dan rasa sudah tahu)? Dalam salah satu pengajian bersama Kyai saya di pondok pesantren, beliau berkata, "mau bagaimana ilmu masuk pada Kita kalau diri Kita sendiri merasa sudah tahu. Hilangkanlah terlebih dahulu pengetahuan-pengetahuan terdahulu sehingga apa yang disampaikan bisa meresap dan tidak tertolak.".

            Ngawamkeun diri sendiri yang berasal dari bahasa Sunda tidak terlepas dari apa yang sudah menjadi tradisi Sunda itu sendiri. Para sesepuh Sunda biasanya memberi nasihat pada seseorang yang hendak pergi ke wilayah lain, meskipun masih wilayah dengan kebudayaan sunda: "Sing pinter lolondokan". Yang artinya, "pintar-pintarlah berkamuflase seperti landak ataupun bunglon". Maksudnya jangan karena sudah punya bekal ilmu pengetahuan yang banyak, kemudian merasa sudah tahu menahu pada tempat baru yang Kita kunjungi. Belajar dari londok atau bunglon, pintarlah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karena pemilik lingkungan, jauh lebih tahu seluk beluk daerahnya sendiri daripada Kita.

            Saya jadi teringat pada bincang kencing Saya dengan teman saat masih SD. Saya yang memang tidak terlalu mengerti tentang mitos-mitos gaib. Kencing secara merdeka. Tidak ada dalam pikiran saya kecil, kalau sedang kepepet itu yang namanya kencing harus minta izin pada "pemilik" tempat. Hal sebaliknya yang dipahami oleh teman saya yang kalau mau kencing kepepet minta izin dulu. Katanya takut-takut ada jin yang terkena air pipis sehingga nanti burungnya akan dikutuk menjadi besar. Tentu bagi saya yang masih kecil saat itu mendebatnya dengan musyrik, takhayul, khurafat, dan bid'ah!

            Padahal maksud dari etika kencing yang diajarkan oleh orang dahulu pada teman saya ialah bentuk penghormatan kepada alam. Bentuk merasa awam pada diri sendiri tentang apa yang ada di tempat kencing itu. Bukankah di tempat yang Kita kencingi secara sembarangan itu ada semut, cacing, bahkan mikroba sekalipun yang bisa terganggu oleh air kencing Kita?

            Demikian pula pada tradisi sufi seperti yang pernah terjadi pada Pir Yunus Emre pada film Yunus Emre: akn yolculuu (Yunus Emre: Perjalanan Cinta). Beliau diberi dzikir untuk selalu mengucapkan "bil mam" dari bahasa Turki, yang artinya saya tidak tahu setiap kali ditanya oleh orang lain. Demikian Tapduk Emre, guru beliau melatih muridnya yang saat itu sudah menjadi seorang qadi agar menahan diri dari reaktif terhadap sesuatu. Atau, halnya seperti Musa AS yang dilarang mempertanyakan apapun yang dilakukan oleh gurunya, Khidir AS. Karena dibalik semua perlakuan aneh Khidir terdapat hikmah rasional nan rahasia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun