Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kematian: Tidak Ada Perdebatan Padanya (Tulisan 2020)

2 September 2023   02:20 Diperbarui: 2 September 2023   02:23 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia merupakan satu dari jutaan makhluk yang ada di bumi ini. Saya manusia, Anda manusia, dan orang lain yang kita kenal maupun tidak juga manusia. Manusia memiliki tubuh yang mirip dengan kera. Namun tentu manusia bukan kera. Bagi sebagian orang dan sebaliknya bagi sebahagian yang lain.

Manusia adalah hewan. Karena manusia memiliki metabolisme dan nafsu. Metabolisme berupa gerak tubuh yang bergerak tanpa disadari seperti tumbuhan. Akan tetapi memiliki nafsu sehingga lebih mirip dengan hewan yang bergerak dinamis.

Lantas, mengapa jika manusia termasuk bagian dari hewan. Mengapa hewan selain manusia tidak seperti manusia? Pembaca budiman tentu sudah memiliki jawaban dengan alasan yang simpel sehingga bisa membedakan secara gamblang.

Lalu ke manakah penulis ini berpihak dalam memahami sosoknya sendiri? Apakah manusia merupakan kera yang berevolusi? Apakah manusia jenis yang terpisah dari kera tapi masih bagian dari hewan? Atau justru manusia adalah manusia itu sendiri tanpa harus dikaitkan dengan makhluk lainnya layaknya jin? Atau manusia justru hanyalah ilusi, dimana setiap manusia beranggapan bahwa dirinyalah manusia? Kemudian bagaimana manusia bisa disebut telah memanusiakan manusia? Apa ukuran yang adil sehingga manusia telah dianggap memenuhi kemanusiaan? Terus kenapa penulis yang di awal mengklaim sebagai manusia banyak bertanya tentang manusia? Penulis bukan manusia?

Jawabannya tidak akan cukup dibahas secara singkat. Sebegitu tidak tahu dirikah penulis terhadap dirinya sendiri? Tidak adakah jawaban yang pasti? Kemudian sampai kapan pertanyaan ini akan berakhir?

Dari semua ini penulis ingin menunjukkan bahwa manusia ialah makhluk yang tidak akan pernah terlepas dari yang namanya perdebatan. Dimulai dari memahami dirinya saja manusia sudah kerepotan karena begitu banyak definisi yang tak bisa dibantah begitu saja.

Manusia yang selalu bertanya juga merupakan ciri khas tersendiri. Entah mungkin karena kita tidak dapat memahami bahasa hewan, tumbuhan, ataupun benda yang lain, secara gamblang hanya manusia yang riweuh mengenal dirinya saja. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan yang hidupnya mengikuti naluri saja. Manusia tidak hanya mengikuti naluri, tetapi melampaui naluri, yakni mencari definisi dari naluri itu sendiri.

Laga perdebatan yang saya sampaikan baru dalam memahami dirinya sendiri. Belum perdebatan manusia dalam hal-hal lain seperti Tuhan, alam semesta, takdir, pikiran, perasaan, dan banyak yang tak tersebutkan.

Apabila banyak terdapat perdebatan dalam kehidupan manusia ini, maka bagaimanakah manusia bisa bersatu tanpa perdebatan? Dalam hal apakah kiranya manusia bisa berhenti berdebat?

Kematian, tidak ada perdebatan di dalamnya. Terlepas dari masalah surga, neraka, reinkarnasi, atau tidak ada kehidupan sama sekali, kematian pasti terjadi. Orang yang banyak beretorika menceritakan surga dan neraka akan mati. Orang yang percaya reinkarnasi akan mati. Orang yang tidak percaya pada kehidupan setelah mati pun tetap percaya pada yang namanya mati.

Dengan tidak adanya perdebatan dalam terjadinya kematian. Disinilah titik kumpul manusia dalam menjalani hidupnya. Orang yang percaya surga dan neraka akan hidup untuk kehidupan yang selamat setelah mati nanti. Bagi orang yang percaya reinkarnasi berharap ia akan bereinkarnasi menjadi makhluk yang indah atau cahayanya bertemu cahaya tuhan. Bagi orang yang tidak mengenal fase pasca hidup, untuk menghadapi kematian ia berusaha meninggal dalam keadaan baik dan sejahtera.

Jelas dari apa yang telah saya sampaikan terlepas dari agama apa yang manusia anut. Kematian tidak akan bisa melepaskan manusia bahkan sifat yang melekat pada manusia.

Maka, mati itu pasti. Tapi belum tentu setiap manusia akan bangun. Mati, menjadi kepastian, sesuatu yang bisa dituju oleh kita. Tak perlu dinanti-nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun