3. Menyebutkan nikmat. Sekilas seperti flexing nikmat memang. Tapi anjuran tegasnya ada dalam akhir surat Ad-Dhuha:
"Adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka bahaslah (sebutkanlah)"
Meskipun pada ayat lain disebutkan:
"Dan seandainya kau hitung nikmat Tuhan, Kau tak kan sanggup menghitungnya"
      Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya Tuhan suka jika kebaikan-kebaikannya itu diucap-ucapkan. Sedangkan tidak setiap manusia suka dengan nikmat Tuhan yang menjadi hak Kita. Hakikatnya mereka sama dengan protes terhadap Tuhan yang malah memberikan nikamt tersebut pada orang lain.
      Walau demikian, sebagai manusia yang baik. Dimana mungkin Kita pun masih suka demikian jika melihat orang lain mendapatkan nikmat. Maka menyebutkan nikmat Tuhan itu bukan untuk diumbar ke khalayak ramai yang tak ada urusannya dengan Kita.
      4. Mempergunakan nikmat tersebut secara adil demi keridhaan Sang Pemberi Nikmat. Maksudnya menikmati nikmat atau zaman sekarangnya mindfulness dalam menghayati nikmat juga bagian dari bersyukur. Rasakanlah nikmat tersebut secara khusyuk dan lupakan sejenak keruwetan pikiran.
      Dalam poin ke-empat ini bahkan memberikan arti bahwa jika Kita pergunakan nikmat tersebut untuk kemanfaatan dan kemakmuran bumi. Tentu Tuhan rela. Karena memang itu tugas Kita di dunia.
      Dari semua penjabaran tadi, berkaitan dengan syukuran kemerdekaan juga semua orang memiliki caranya masing-masing. Tidak bisa disamakan, tidak bisa menilai mana yang paling nasionalis. Kebhinekaan merayakan kemerdekaan itulah yang semestinya menjadi kesadaran Kita saat ini.
      Terkhusus bagi orang yang diciptakan kurang ekspresif. Biasanya mengomentari 17-an dengan mubazir lah, apa gunanya lomba makan kerupuk, apa gunanya tarik tambang, dan lain-lain. Hey! Biarkan orang bahagia dengan caranya selama tidak melanggar hukum. Suatu hal yang mubah jika diniatkan syukuran kemerdekaan justru menjadi ibadah. Ibadah yang seru nan asyik, bukan ibadah yang penuh paksaan dan malah bikin tambah stress.