Berawal dari obrolan sesama penumpang saat perjalanan pulang untuk ziarah pada keponakan saya yang meninggal dunia. Seperti penumpang pada umumnya, basa-basi sesama penumpang juga aktifitas yang biasa dilakukan oleh Saya. Kebetulan Kami sesama penumpang asal Cianjur dan bertemu di Ciawi, Bogor.
      Dari sekian banyak topik obrolan yang berpindah-pindah, topik bahasan mengenai realita Islam di Indonesia dan kelebihan Islam Indonesia yang "tak perlu Nabi" agaknya menstimulasi pikiran lama saya. Pikiran tersebut ialah kritik atas orang yang terlalu bangga dengan Islam Indonesia yang tak perlu Nabi, cukup wali. Tumor pikiran ini sudah ada semenjak saya mondok di Tasikmalaya.
      Konteks saat itu memang sedang seru-serunya Islam Nusantara vis a vis Islam Radikal. Salah satu kyai besar Saya saat itu seringkali menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam sudah ada di kultur masyarakat Indonesia bahkan sebelum walisongo dan pendakwah Islam datang. Seperti budaya ramah tamah, melesatarikan alam, larangan mabuk-mabukan, dan sebagainya. Saya setuju dalam beberapa bagian, tapi ketika ada unsur mendiskriditkan orang-orang Arab, jiwa pemberontak saya pun muncul.
      Bentuk pendiskriditan tersebut biasanya ialah mencontohkan Arab Pra-Islam yang tidak berkeadaban. Seperti bagaimana digambarkan sadisnya kultur mengubur hidup-hidup anak perempuan, beristri banyak, memperbudak manusia lain, bertelanjang saat tawaf, dan hal-hal lainnya. Memang ini realita yang harus diterima karena seperti Kita ketahui masa tersebut sering disebut sebagai zaman jahiliyyah (kebodohan).
      Akan tetapi, penyampaian berlebihan akan kelebihan umat Islam Indonesia yang secara genetik memiliki kultur ramah tamah. Tidak baik jika harus diikutkan dengan mendeskriditkan bangsa lain. Pun perlulah Kita adil dengan bagaimana buruknya beberapa kultur Nusantara Pra-Islam yang mungkin tidak Kita sadari karena bias subjektifitas.
      Jika memang ide pribumisasi Islam di Indonesia yang disuarakan oleh Gus Dur bertujuan untuk menjaga kultur agar tidak tergerus oleh Arabisasi. Maka jangan pula Kita lupa akan gagasan kosmopolitanisme Islam yang bertujuan untuk menjadikan umat muslim sebagai bagian dari masyarakat dunia. Pun hak Pribumisasi Islam itu bukan hanya milik orang Indonesia saja bukan?
      Maka demikian halnya dengan Islam Arab. Meskipun Islam Radikal tidak bisa membedakan antara mana yang bagian agama dan mana yang bagian budaya. Janganlah sadarkan mereka dengan membahasakan betapa dibutuhkannya Nabi untuk orang Arab demi memanusiakan mereka dari gelapnya jahiliyyah. Saking betapa buruknya perangai bawaan mereka.
      Justru bangkitnya Islam di bangsa Arab ialah suatu kepantasan karena kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang Arab itu sendiri. Bayangkan saja bagaimana kuatnya orang Arab Makkah saat itu untuk bertahan hidup di tengah padang pasir? Bagaimana budaya berpindah-pindah tempat mereka untuk mencari lahan yang subur seiring perubahan musim? Bagaimana kuatnya mereka untuk berperjalanan darat melewati gurun pasir dan lembah bebatuan menuju pusat-pusat perdagangan saat itu?Â
Bagaimana pula mereka mampu berinteraksi dengan berbagai pendatang dari segala penjuru dunia untuk berdagang? Kekuatan, ketangguhan, kemampuan adaptasi, ramah tamah mereka, justru yang menjadikan mereka sebagai bangsa terpilih saat itu.
      Islam pada dasarnya memang tidak mengenal pengkelasan sosial berdasarkan kebangsaannya. Tapi secara sekaligus mengajarkan bagaimana beradaptasi, mempertahankan budaya, dan mempertahankan ketauhidan secara bersamaan. Semua itu merupakan satu nafas bernama ibadah. Justru mendeskriditkan bangsa tertentu dalam hal ini Arab, bukanlah perilaku Islami. Itulah jahiliyyah yang sesungguhnya.
      Akhir kata, sebagai pesan dan pengingat bagi diri sendiri dan yang membutuhkan: