Prancis ada di sebelah mana. Melebar sampai ke gagasan kebebasan beragama. Demikian tulisan random ini akan berjalan.
Berawal dari ngecek letak geografisGini nih ceritanya, pas lagi ngehanca  film dengan judul "De Gaule" yang mengisahkan bagaimana jenderal Charles De Gaulle berupaya mempertahankan Prancis dari serangan Nazi Jerman. Dikisahkan bagaimaan rumitnya Jenderal De Gaule meminta bantuan dari Inggris.
Tersirat dalam fikiran, bagaimana bisa kondisi Prancis yang sedang diinvasi oleh Jerman. Bahkan hampir menuju Paris. Masih bisa sang jenderal berangkat kesana. Padahal, pesawat-pesawat Jerman yang terkenal cepat lagi rame-ramenya berterbangan menuju jantung negara. Apa gak bakal ditembak jatuh?
Ternyata, ya tentu bisa, karena jarak kedua negara itu berdekatan. Sedangkan dalam fikiran saya sebelum ngecek kembali letak geografis Prancis. Saya fikir Prancis itu berada di sebelah Timur Eropa. Karena di film "Hayreddin Barbarossa" garapan Turki, saat itu Turki memiliki hubungan dekat dengan Prancis. Turki yang saat itu dipimpin oleh Sulaiman al-Qanuni. Lagi mesra-mesranya dengan Prancis, Francois I. Untuk memusuhi Spanyol di bawah kekuasaan Charles V yang mendapat dukungan dari Vatikan.
Muncul lagi pertanyaan, "memang seberapa besar wilayah kekuasaan Turki Utsmani sat itu. Sampai-sampai pada film Barbarossa bisa bertukar utusan begitu cepat?". Ternyata di tahun tersebut, yakni 1500-an, Turki Utsmani memang sudah menguasai hampir keseluruhan daratan Yunani. Padahal, Yunani di masa Kesultanan Seljuk menjadi kekuatan Eropa terbesar di bawah pemerintahan Bizantium Roma alias Romawi Timur. Bahkan, Athena yang menjadi Kota Filsafat pada masa Yunani Kuno pun takluk di bawah Turki Utsmani.
Saking nganggurnya, akhirnya saya baca-baca sedikit mengenai kondisi Yunani saat di bawah kekuasaan Utsmani melalui wikipedia. Disinilah ada hal yang menarik berkaitan dengan judul. Kebijakan Islamisasi secara paksa pada anak-anak Yunani untuk dijadikan Janissari.
Akhir-akhir ini memang di dunia fikir saya lagi ramai bahasan tentang moderasi beragama, toleransi, dan pluralisme. Pun di dunia per-UIN-an, khususnya UIN Jogja, juga di berita yang muncul di feed sosial media saya selalu saja bahasan itu. Lama kelamaan saya rasa kok ngebosenin juga yah. Apa gak ada bahasan lain yang lebih menarik? Bukankah isu kebebasan beragama sudah menjadi bagian dari ajaran Islam?
Ternyata memang secara historis paksaan untuk masuk Islam itu realita sejarah yang harus diakui dengan jujur. Meskipun dengan sumber sekilas dari wikipedia begitu saja tidak cukup untuk disebut sebagai kesimpulan ilmiah. Bahkan saya hanya memberikan satu contoh saja. Tapi suara kebebasan beragama yang keluar dari umat Islam memang harus menjadi jobdesk tersendiri bagi pendakwah.
Mengapa demikian? Bukankah toh dengan dipaksa beragama Islam Kita memaksa mereka untuk selamat (masuk surga)? Cobalah untuk membaca tragedi itu secara adil. Bagaimana dengan pemaksaan umat Islam di Andalusia untuk dikristenisasi? Tidakkah Kita merasakan sakit?
Meskipun Kita bisa berbangga dengan keuatan politik Islam saat itu. Tapi realita sejarah janganlah disembunyikan. Kejahatan yang dilakukan oleh Islam (secara historis), pun kepahlawanan yang dilakukan oleh umat non-Islam. Tentu perlu untuk diamini. Demikian kurang lebih pemikiran Buya Syafii Maarif, Profesor Filsafat Sejarah yang menjadi salah satu dari tiga Guru Bangsa. Mantan Ketua Umum Muhammadiyyah, jika saya boleh membahasakan ulang.
     Â