Agaknya terlalu kasar untuk mengatakan gila kepada seseorang akhir-akhir ini. Bahkan kata gila seakan menjadi kata yang hendak dihapus dari muka bumi. Meskipun menghilangkan kata gila dari KBBI bisa-bisa saja, tapi itu produk budaya. Bukan produk institusi pengatur kebijakan Kamus Besar.
Terlepas dari perdebatan penggunaan kata gila, John Nash, seorang pengidap Skizofrenia berhasil merubah persepsi orang  terhadap ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa).  Bahwa Orang dengan Skizofrenia (ODS) pun sama halnya dengan orang normal lainnya dalam merawat asa meraih cita. Demikian kurang lebih gambaran dari film yang diangkat dari kisah nyata berjudul A Beautiful Mind ini. Tapi tentu saja tidak sesingkat itu lalu tulisan ini selesai.
Pada awalnya, Nash hanyalah orang pintar nan culun di kampusnya yakni Universitas Princeton. Dimana disana ia merupakan mahasiswa doktoral yang mendapatkan beasiswa dari Westinghouse. Â Disana ia bertemu dengan berbagai mahasiswa hebat sepertinya yang memiliki kehidupan layaknya orang pada umumnya.
Pada film digambarkan bahwa Nasha ialah sosok yang sangat obsesif terhadap pengetahuan. Khususnya matematika yang menjadi kajian spesialisnya. Sehingga setiap kali melihat berbagai fenomena lingkungan selalu muncul perhitungan-perhitungan matematis secara visual. Hal inilah yang membedakan ia dengan teman sejawatnya yang dapat menjalani kehidupan sosial pada umumnya.
Namun, hasrat alamiah tak mau kalah tetaplah ada dan cukup dominan dalam perjalanan hidupnya. Digambarkan dalam film ini bahwa Nash memilki seorang rival bernama Martin Hansen. Martin diceritakan lebih dahulu berinovasi dalam memecahkan sandi Nazi dan karyanya berupa persamaan nonlinier. Tak mau kalah, Nash menyatakan ketidak setujuannya pada Martin pada awal pesta pembukaan perkuliahan di depan umum.
Tanpa ia ketahui, tiba-tiba saja datang seseorang yang tengah mabuk ke kamarnya Nash. Dia adalah Charles Herman. Herman selalu menjadi teman bicara dan teman mabuk setianya kala Nash sedang sendirian.Â
Nash seringkali menjadi seorang pecundang diantara teman-temannya. Terutama jika ia harus menghadapi Martin Hansen. Dalam salah satu scene digambarkan bagaimana ia harus mengalahkan Martin dalam bermain Igo (semacam catur tapi lebih kompleks). Lalu ia kalah telak sambil diejek karena belum menemukan topik untuk disertasi doktoralnya. Sedangkan Martin telah mengeluarkan dua inovasi jauh-jauh hari semenjak kedatangannya ke Princeton.
Pada kesempatan lain, ia ditampar oleh seorang wanita. Karena dengan lugunya ia begitu saja langsung memintanya untuk bertukar cairan. Malang nian nasibnya, padahal ia sedang menghibur diri setelah dua hari penuh mencari ide di perpustakaan.
Tak cukup sampai disitu, stressnya bertambah ketika kampus mulai menuntut judul penelitian untuk studinya. Stressnya bertambah, Nash membenturkan kepalanya ke jendela dan mendorong meja keluar jendela lantai dua hingga hancur. Beruntung Herman selalu menjadi teman setia disetiap stressnya muncul.
Tak lama kemudian ia lulus dari sekolah doktoralnya dan sempat dipanggil ke Pentagon untuk memecahkan sandi yang terenskripsi. Sandi tersebut sangat penting mengingat kondisi saat itu tengah terjadi perang dingin antara Soviet dan AS. Disanalah ia bertemu dengan Parcher, seorang agen AS yang menugaskannya untuk terus mencari sandi dari majalah-majalah yang diterbitkan. Dimana sandi-sandi tersebut merupakan media komunikasi antar agen soviet di AS.
Saat itu juga Nash bertemu dengan kekasihnya yang membuatnya takjub. Alicia Larde yang juga merupakan mahasiswinya. Hingga singkat cerita ia berhasil menikahinya.