AI, AI, AI, senantiasa berkelindan disekitar hanphone, laptop, internet, juga iklan di berbagai media yang ada saat ini. Setidaknya di beranda gadgetku. Kecerdasan Buatan atau Artifisial Intellegence mungkin memang sudah saatnya dan sedang ramai-ramainya. Saking ramainya, aku hanya ingin berada di pojokan, memurungkan diri dari keramaian yang terlalu ramai. Berada di tengah sawah sambil ngelamun dan nyeruput kopi tanpa menghisap rokok, karena nyeruput kopi sambil ngisep rokok itu mustahil.
Kalau saya asumsikan pembaca sudah mengerti mengenai istilah kecerdasan buatan utamanya kata buatan. Siapkah teman-teman sekalian untuk membuka diri mengenai refleksi tentang Bahagia yang artifisial?
Tak jauh beda dari istilah AI, bahagia artifisal juga berarti bahagia yang sifatnya buatan. Mudahnya, "Bahagia yang diciptakan". Mungkin peribahasa "bahagia itu diciptakan" sebagian dari pembaca pernah bahkan sering mendengarnya.
Akan tetapi, yang jadi pertanyaannya, "apakah benar bahagia itu diciptakan?".
Jika Kita masuk terlebih dahulu kepada pola pikir orang yang mempercayai konsep tersebut. Ada benarnya bahwa bahagia itu diciptakan. Bahwa ketika isi dari pikiran Kita itu rasa bahagia. Kita akan melihat segala sesuatu dengan bahagia. Seperti Kita memakai kacamata hijau, atau kecamata gelap misal lainnya. Tentu Kita akan melihat sekeliling Kita dengan warna hijau atau gelap.
Konsep husnuszan yang diajarkan Islam mungkin disinilah fungsinya dan penjelasan mudahnya. Ketika Kita berprasangka baik, maka otomatis pola pikir Kita akan memandang segala hal dari sisi-sisi baiknya. Disinilah konsep "Bahagia itu diciptakan" dengan husnudzan saling berpautan.
Agar lebih keren, tak ada salahnya Kita melihat bagaimana konsep "diciptakan"-nya apa-apa yang ada dalam diri manusia itu dengan menengok sebentar pada seorang filosof bernama Nietzche. Â Nietzsche yang terkenal dengan pandagnan Nihilismenya, yakni keadaan (asal) tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku. Disisi lain ia menganjurkan manusia untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri. Dalam arti kata lain bahwa makna hidup ini Kita sendiri yang menciptakan.
Bahkan secara ekstrim Nietzsche mengatakan bahwa "Tuhan sudah mati" (Got is toht). Manusialah yang menciptakannya. Dengan kesadaran bahwa Tuhan sudah mati, maka lenyaplah nilai-nilai moral yang dibuat-buat dan menjadi pembatas dalam kehidupan. Maka sudah selayaknya manusia tidak melarikan diri dan me-mamah papah atas segala problemanya kepada Tuhan.
Akan tetapi, akan muncul suatu problematika baru ketika Kita menganggap bahwa bahagia itu diciptakan. Akan muncul pertanyaan, "lalu apa itu bahagia?". Lalu bagaimana bahagia yang sejati? Jika bahagia diciptakan, bagaimana seandainya sebenarnya Kita ini sengsara namun berpura-pura dalam balutan kebohongan "aku bahagia"?
Ketika bahagia diciptakan, ada unsur pemaksaan terhadap diri Kita untuk mengonsepkan pada pola pikir Kita bahwa Kita bahagia. Padahal tidak. Atau bahasa lagunya pura-pura bahagia.