Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Metaverse dan Krisis Kesadaran (Tulisan 2021)

7 Maret 2023   03:10 Diperbarui: 7 Maret 2023   03:22 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini di akhir tahun 2021 ramai perbincangan mengenai Metaverse. Sebuah dunia baru dari dunia yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Tentu ini akan menjadi soal baru dari ragam ambisi umat manusia.

Katanya, mau tak mau semua mannusia di jagat ini akan terbawa arus jagat metaverse. Ya, metaverse cocok sekali jika dibahasakan sebagai jagat baru setelah jagat raya ini. Simpelnya, metaverse ini "lahan" baru bagi umat manusia. Hanya saja, lahan ini merupakan lahan buatan manusia yang dikembangkan dari dunia maya atau jaringan computer.

Katanya, manusia akan memiliki bentuk avatarnya, memiliki lapak, bisa bertemu dengan orang jauh melalui dunia ini. Jalan-jalan di mall Metaverse gambarannya. Untuk sekarang mungkin serasa mustahil. Namun, Video call yang sering Kita lakukan sekarang pun, untuk Tahun 2010 kebelakang masih mustahil.

Kalau Anda pecinta Anime, Sword Art Online mungkin bisa jadi contoh. Bagaimana orang bisa saling membunuh melalui suatu game yang ada di dunia maya. Bisa bertemu dan memliki lahan tersendiri.

Persoalannya, sekarang saja ketika manusia terbatas dengan Panca Indra. Akan tetapi mampu bertatap kata melalui media social, banyak yang menyinggung, banyak pula yang tersinggung. Kasus lainnya ada perundungan, pemaksaan, perdagangan, bahkan pemerkosaan secara maya. Bagaimana nanti Ketika Metaverse sudah benar-benar matang?

Akankah manusia menikah dengan karakter anime di Metaverse? Apakah hal tersebut merupakan kenyataan yang seharusnya? Apakah hal tersebut dilakukan atas kesadaran? Lalu, kemanakah kesadaran manusia jadinya?

Dengan keterbiasaannya, manusia jadi lupa pada kenyataan yang seharusnya di dunia nyata. Lebih nyaman bermetaverse, atau sekarang bermedia social. Lebih nyaman ngegame di computer, smartphone, ataupun internet. Lebih gaya dengan berbagai filter Instagram daripada wajah di dunia nyata dengan filter makeup.

Keaslian manusia yang dalam arti manusia sesungguhnya pun lenyap. Terus terlebur dengan teknologi. Terus berada dalam proyeksi, bukan aksi.

Inilah yang dikhawatirkan Jean Bouleard sejak abad 20. Ketika manusia lebih memilih yang palsu daripada yang asli. Ia mengistilahkannya dengan Simulacra, atau Superrealitas. Simulasi hidup lebih dipilh daripada hidup itu sendiri. Atau hidup sudah terlebur oleh simulasi hidup itu sendiri.

Itulah mengapa dalam bebagai agama, banyak aturan yang menjaga garis-garis kealamiahan manusia. Itupun sesuai dengan konsep alam dari masing-masing agama. Sebagai contoh, muslim diajarkan berpuasa agar tetap terjaga kewarasannya, tidak terganggu oleh pengaruh makanan yang membuat kantuk, keduniawian yang membuat manusia jauh dari surga yang jadi tempat asalnya.

Anak yang lahir pasca sempurnanya metaverse atau beriringan dengan metaverse akan linglung. Bagi mereka kesadaran itu bersatu dengan metaverse. Bahwa dunia maya itu nyata. Tak ada bedanya dengan dunia nyata. Metaverse menjadi ancaman bagi kesadaran, Krisis Kesadaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun