Bait kedua, sebagaimana kita membangun istana untuk raja. Maka agar Tuhan mau dan pantas untuk tinggal di dalam tubuh Kita. Jadikan Tubuh Kita ini kuil (masjid) sehingga Tuhan mau singgah di Tubuh Kita, hadir dalam kondisi pantas dalam kehidupan kita.
Begitu pula hati, jadikan ia altar (semacam tempat suci dalam peribadatan kristiani ataupun tempat persembahan dalam budaya Yunani Kuno). Sehingga Dia mau mengisi hati Kita, memandu ketersesatan melalui hati.
Bait ketiga, menjawab pertanyaan "bagaimana cara menjadikan tubuh sebagai Kuil Tuhan dan hati Altar Tuhan?". Yakni dengan menjalankan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Menjalankan ritual-ritual peribadatan seperti solat, puasa, sedekah, dan hal-hal kebaikan fisik lain yang Tuhan rela.
Lalu gara hati menjadi altar Tuhan. Yakni dengan membersihkan hati dari sangkaan-sangkaan buruk, menyakiti hati orang lain, pesimisme, dendam kesumat, dan hal-hal lain yang merupakan keburukan hati. Lalu menghiasi hati dengan sifat-sifat baik seperti empati, menyenangkan hati orang lain, berbahagia saat orang lain bahagia, dan kebaikan-kebaikan hati lain.
Bait ketiga, mempertegas bahwa Tuhan itu harus menjadi realitas. Allah itu harus benar-benar menjadi kenyataan. Bukan hanya sekedar obrolan ngaler ngidul di tongkrongan, menjadi bahasan berulang di masjid-masjid, menjadi kajian-kajian omong kosong dalam pengajian kitab suci, dan bentuk-bentuk imajinatif Allah lainnya. Allah terwujud dalam segala kegiatan-kegiatan baik sehari-hari, dunia maupun akhirat.
Kembali kepada istilah masantrenkeun diri maka Kita menjadikan pesantren dalam diri Kita. Sehingga kita layak disebut santri atau singkatnya layak disebut hamba Tuhan, 'abdullah. Dimana kita sering ingin disebut hamba Tuhan tapi mungkin Tuhan berkata "siapa elu".
Tak perlu lama berada di pondok pesantren, tidak setiap dari Kita memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi hamba Allah di pesantren, dan tidak perlu berada di pondok untuk menjadi hamba Allah yang baik. Kita "bangun" pesantren dalam diri Kita, sehingga dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun. Amal shalih, kedisiplinan, pengajian yang ada di pesantren selalu ada dalam diri Kita.
Tinggal di pesantren pun tidak menjamin menjadi insan yang baik, begitu pula sebaliknya. Bukannya akhir-akhir ini banyak terjadi kasus negatif di pesantren? Koreksi saya apabila salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H